.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Menghembuskan nafasnya yang tertahan, Khaotung mencoba untuk membuat tubuhnya lebih santai duduk di kursi empuk yang sangat nyaman. Sesekali memejamkan mata untuk menenangkan diri dan mencoba mengenyahkan bayangan-bayangan buruk yang membayanginya, hingga tanpa sadar meremas tangan seseorang di sampingnya yang mengharuskan orang itu mengalihkan perhatian padanya.
"Takut?" First meneliti wajah Khaotung yang agak pucat.
Si manis itu menggelengkan kepalanya pelan, tapi kemudian mengayunkan kepalanya naik-turun dengan ragu.
Mengulas senyum tipis di bibirnya, First mengusap surai jelaga milik Khaotung pelan.
"Lihatlah ke jendela, aku jamin kau akan melupakan ketakutan mu"
Khaotung memutar kepalanya menatap pria dewasa itu, meneliti apakah lelaki itu benar-benar sedang berusaha membuatnya tenang atau hanya sedang menggoda dirinya. Tapi First menganggukkan kepala meyakinkan, membuatnya menolehkan kepalanya ragu ke sisi kirinya. Pada sebuah jendela berbentuk oval yang menyuguhkan pemandangan langit yang tak terkira indahnya.
Gumpalan awan putih yang mengambang di langit biru, semburat cahaya mentari tampak di ujung yang tak bertepi.
Membuatnya terkagum dan juga menghantarkan memorinya tentang bagaimana sebelum ia bisa berada di tempat ini.
.
.
.
.
.
"Boleh aku duduk di sini?"
Khaotung sedang asyik bergelut dengan banyak hal di kepalanya ketika suara dalam yang khas itu menyapa indra pendengarannya dan membuatnya terlonjak kecil di tempat duduknya. Di kursi kayu panjang yang ada di depan teras rumahnya.
First, lelaki itu tampak lebih tenang setelah pergulatan hati dan pikirannya beberapa jam yang lalu. Setelah mendapat persetujuan dari Khaotung, ia mendaratkan tubuhnya perlahan disisi kiri pemuda manis itu. Bergerak merapatkan blazer biru gelap yang dikenakannya, ikut memandang lurus ke depan.
"Tidak perlu berpikir terlalu keras jika kau tidak menginginkan hal ini" ucapnya, memecah sunyi. Suaranya yang dalam terdengar begitu tenang.
Menunjukkan kualitas usianya yang sangat matang.
Khaotung memalingkan wajahnya guna menatap pria di sampingnya itu, lalu menggelengkan kepalanya kecil.
"Tidak, bukan seperti itu Tuan"
Satu alis tebal First terangkat, kedua netranya kini terfokus pada si manis di sampingnya. "Lalu?"
"Jika anda berpikir aku merasa tertekan akan rencana pernikahan itu, anda salah"
"Apa ada hal lain yang lebih sensitif daripada itu?" First menatap tertarik. Ia ingin tahu bagaimana cara Thanawat muda itu bersikap.
"Ya" Khaotung mengangguk kecil, "Kedua orangtuaku. Apa anda tahu kenapa mereka melakukan hal ini?" Khaotung mempertemukan tatapan mereka dalam satu garis lurus.
Giliran First yang menggelengkan kepalanya.
"Orangtuaku, mereka sudah banyak berusaha untuk merubah nasib kami, apapun sudah mereka lakukan. Terutama untukku. Meski sebenarnya baik papa dan mama tidak pernah larut dalam kesedihan, tapi aku tahu jika mereka tertekan"
KAMU SEDANG MEMBACA
Home Sweet Home
FanficBagaimana rasanya menikah dengan duda beranak dua? apalagi jika kedua anaknya seumuran denganmu?