Mertua Rasa Suami (1)
Penenang Salah Alamat
Sarah tak pernah menyangka hubungannya dengan Pak Bram, mertua laki-lakinya, akan berubah. Sejak menikah dengan David tiga tahun yang lalu, Pak Bram selalu menjadi sosok yang tenang, sedikit pendiam, namun penuh wibawa. Bagi Sarah, Pak Bram adalah pilar keluarga, pria kuat yang membesarkan suaminya menjadi sosok yang ia cintai. Tidak pernah terbersit sedikit pun perasaan yang lebih dari sekadar hubungan menantu dan mertua-hingga kepergian Ibu Rina, ibu mertuanya, setahun yang lalu.
Kematian Ibu Rina mengubah banyak hal di dalam keluarga. Pak Bram, yang tadinya adalah pria pertengahan 50-an yang penuh energi dan wibawa, mulai terlihat lelah. Wajahnya yang dulu selalu tegar perlahan memudar. Sarah memperhatikan bagaimana pria itu semakin sering terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri, seolah sedang bergulat dengan kesepian yang mendalam.
Mereka memang tinggal serumah, karena keluarga mertuanya itu hanya memiliki dua anak, dan saudara dari David tinggal di luar negeri bersama keluarga mereka. Menjadikan David sang bungsu, meninggali kediaman orang tuanya bersama Sarah untuk menemani masa tua mereka.
Di tengah kepedihan itu, Sarah menjadi lebih perhatian terhadap Pak Bram. Ia sering menemani pria tua itu, mendengarkan ceritanya, mengajaknya bicara agar beban di hatinya tak terasa begitu berat. Pak Bram pun, entah kenapa, mulai membuka diri kepada Sarah. Ia menceritakan kisah hidupnya, tentang masa mudanya, dan bagaimana ia pernah kehilangan mimpi-mimpinya demi keluarga. Semakin sering mereka berbicara, semakin Sarah merasa simpati. Hubungan mereka yang awalnya biasa mulai diwarnai dengan perasaan lain-perasaan saling memahami yang lebih dalam dari sebelumnya.
David sang suami tentu tak merasa curiga, ia justru senang istrinya bisa menghabiskan waktu bersama keluarga mereka dan ayahnya. Ia adalah seorang sibuk, dan yang sedia ada di rumah memang sang Ayah dan sang istri tercinta. Sehingga ia berayukur ada Sarah yang menemani sang Ayah.
David tidak menyadari, di balik cerita-cerita itu, ada sesuatu yang lain yang tumbuh dalam diri sang istri dan juga dalam diri Pak Bram. Sebuah kabut emosional yang pelan tapi pasti menyelimuti perasaan mereka, kabut yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, namun semakin nyata setiap harinya.
Suatu malam, ketika David harus dinas ke luar kota selama seminggu, Sarah tinggal di rumah keluarga besar, hanya ia dan sang Ayah mertua, karena dirinya dan sang suami memang belum dikaruniai buah hati. Malam itu, usai makan malam, Sarah dan Pak Bram duduk di ruang keluarga, seperti biasa. Lampu yang temaram menciptakan suasana yang tenang, namun ada sesuatu yang berbeda di antara mereka. Percakapan yang biasanya mengalir lancar, kini terasa sedikit lebih pelan, lebih dalam.
"Kamu kelihatan lelah, Sarah," ucap Pak Bram tiba-tiba, suaranya terdengar tenang seperti biasanya, bahkan mungkin sedikit lembut.
Sarah mengangkat kepalanya, mendapati Pak Bram menatapnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu-sesuatu yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Sebelum Sarah bisa menjawab, Pak Bram mengulurkan tangannya, menepuk bahunya pelan. "Bawa istirahat, nak" ujar pria matang itu.
Sentuhannya lembut dan sekilas, namun emtah mengapa terasa jauh lebih intim dari yang pernah mereka rasakan sebelumnya. Dalam hitungan detik, Sarah merasakan kehangatan yang aneh mengalir melalui sentuhan itu, perasaan yang tak seharusnya ia rasakan.
"I-iya, Sarah baik kok, Pa," ucap Sarah, tergagap.
"Sarah duluan ya, Pa" Ia segera menarik diri, bangkit dari sofa dan berusaha menjaga jarak. Namun, meskipun ia telah berdiri dan melangkah menjauh, ia masih bisa merasakan tatapan Pak Bram yang terus mengikutinya, menyelidik, seolah-olah ada sesuatu yang belum terungkap.
Malam itu, Sarah tidak bisa tidur. Ia terbaring di tempat tidur, pikirannya terus berputar. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa ia merasa begitu aneh saat Pak Bram menyentuhnya? Tidak mungkin-ia mencintai David, suaminya. Tapi kenapa sekarang hatinya seolah goyah? Sarah mencoba mengabaikannya, mencoba menganggap itu hanya perasaan sesaat, mungkin karena ia terlalu lelah. Namun, dalam hatinya, ia tahu itu lebih dari sekadar kelelahan.
Pak Bram, di sisi lain, merasakan hal yang sama. Sejak kepergian istrinya, ia telah kehilangan arah. Dunia yang dulu ia kenal runtuh dalam sekejap. Meskipun ia masih memiliki anak-anak dan cucu-cucunya, kesepian itu tetap merongrong hatinya.
Namun kehadiran salah satu menantunya itu, Sarah, dengan perhatiannya yang tulus, telah menjadi sumber kenyamanan bagi Pak Bram. Ia bisa merasakan ketulusan Sarah, ketulusan yang membuatnya merasa dihargai dan dimengerti.
Semakin ia dekat dengan Sarah, semakin ia menyadari ada perasaan yang tak semestinya muncul. Ia tahu itu salah. Ia tahu tidak seharusnya ia merasakan apapun selain hormat dan kasih sayang seorang mertua terhadap menantunya. Tapi kesepian yang menggerogotinya selama ini perlahan mengubah batasan-batasan itu.
Ia ingin berhenti, mencari pengalihan lain. Atau mungkin wanita lain, ia sudah sempat memikirkan itu. Mencari wanita sebayanya saja, namun... malam itu, kala ia yang hanya bermaksud memberi semangat singkat dengan tepukan bahu di pundak sang menantu, aliran membara itu seolah meledak dan semakin kuat.
Seolah ia terkena kutukan cinta terlarang. Dipandanginya Sarah yang melangkah anggun menuju kamar tidurnya, Bram meneguk ludah singkat sebelum mengalihkan pandangan.
Sial, umpatnya, ia mendelik ka bawah sebelum membenarkan posisi duduknya. Bagaimana bisa ia turn on hanya karena sentuhan singkat? Bahkan belum terjamah olehnya kulit mulus indah sang menantu. Tapi adik kecilnya sudah bereaksi dengan keras.
Lelaki setengah baya yang masih dalam masa primanya itu mengernyit kesal, ia memberi kalimat penenang agar keduanya tak canggung, agar pikirannya pun paling tidak mereda sejenak. Namun bukannya bereaksi pada otak dan hatinya, tepukan yang harusnya tak berarti itu justru bereaksi ke bagian perkasa yang sebelumnya sudah cukup lama tertidur di antara kedua pahanya itu.
Bahkan saat bersama mendiang istrinya dulu, tak pernah ia merasa begitu. Bram adalah tipikal pria yang biasanya bisa mengontrol hasratnya. Bahkan saat bersama istrinya dulu. Ia terdiam dan menghela napas, dipandanginya kembali kamar tidur yang sudah tertutup rapat itu.
Sampai kapan?
Itu adalah pertanyaan yang kini menghantui benaknya. Sampai kapan dirinya dan sang menantu bisa menahan gejolak samar yang perlahan hadir diantara mereka.
♡♡♡
See you in next chapter
With luv, Enokiy.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA RASA
Romanzi rosa / ChickLit"Enak digosok ya, Na?" Bisik Raka dengan kotor sambil menekan dua jari ke dalam lubang basah Aluna yang ketat. "Aahh, banjir ini, Na... sange banget ya?" Bisiknya lagi. Membuat Aluna merengek pelan, menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan eranga...