cuplikan novel cetak

80 11 1
                                    


Aku pikir jawabanku semalam membuat Bara puas. Tapi dia malah mengurungkan niatnya untuk pergi ke ruangan kerjanya. Dia ikut naik ke atas kasur, dan kami malah membahas bagaimana pernikahan ini akan berjalan. Dia sempat menyinggung malam pertama tapi kemudian dia mengatakan kita harus perlahan, karena memang kami belum saling mengenal lebih baik.

Dan akhirnya aku dan Bara tidur di atas satu kasur. Tidak ada peristiwa berarti, Bara hanya mengucapkan selamat malam, lalu entah aku yang terlebih dahulu terlelap atau Bara. Yang pasti aku sangat nyenyak tertidur. Sampai azan subuh membangunkanku. Saat itu, Bara sudah tidak ada di sampingku. Sampai aku mandi dan menginvasi isi kulkas Bara yang ada di dapur, Bara belum juga terlihat.

Apa dia ada di lantai atas? Aku juga tidak berani mencari atau memanggilnya. Kuputuskan untuk memasak nasi goreng saja, karena bahan yang ada cukup untuk membuat sarapan itu saja. Namanya juga tadinya rumah milik bujang yang sangat sibuk bekerja, aku maklum kalau Bara juga tidak sempat membeli bahan-bahan makanan.

Pintu depan terdengar terbuka dan langkah kaki membuatku kini melangkah cepat ke ruang tamu. Aku menemukan Bara baru saja melepas sepatunya. Dia mengenakan jaket dan celana warna hitam.

"Udah bangun?"

Bara melangkah ke arah sofa dan duduk di sana. Aku mengikutinya dan kini duduk di depannya.

"Mas dari mana?"

Bara yang baru saja melepas jaketnya kini menatapku. Dia sepertinya sedikit terkejut dengan panggilanku, yang membuatnya sempat berhenti untuk sesaat.

"Ehmmm, dari rumah."

Jawabannya membuatku mengernyitkan kening. Rumah siapa?

"Mama tadi jam 3 pagi menelepon. Clara masuk rumah sakit karena keracunan obat."

Dia meneruskan jawabannya dan membuatku paham, dia langsung pergi saat ditelepon tentang Clara. Apakah Bara sangat mengkhawatirkan mantannya itu?

"Keracunan obat?"

Aku seperti wanita yang sedang menginterogasi seseorang. Bara hanya menganggukkan kepalanya. Dia memijat tengkuknya dan tampak sangat lelah.

"Aku mau mandi dan berangkat ke kantor. Ada pekerjaan yang harus aku tangani hari ini."

Dia beranjak dari duduknya. Tapi kemudian dia menatapku.

"Kamu masak?"

"Masak nasi goreng."

Dia hanya mengulas senyumnya setelah mendengar jawabanku. Bahkan dia tidak mengatakan apapun dan meninggalkanku di ruang tamu. Aku pikir dia tidak akan sarapan. Tapi saat aku menyendok nasi goreng ke atas piring, dia menarik kursi yang ada di depan meja makan dan duduk di sana. Dia sudah terlihat segar dan tampak berwibawa dengan setelan jas mahalnya itu.

"Mau?"

Bara menganggukkan kepala dan membuat aku mengulurkan piring yang sudah berisi nasi goreng itu kepadanya. Aku juga menuangkan air putih untuknya. Bara makan dalam diam, aku sendiri juga tidak bisa mengatakan apapun lagi. Meski banyak pertanyaan tentang Clara dan Bara, aku tidak mungkin menanyakan itu semua.

"Mbak bilang nggak nyaman sama pernikahan ini?" Aku menganggukkan kepala dan menatap Cika, adikku yang kini sedang menyetrika baju. Siang ini, aku memang berkunjung ke rumah Cika untuk mengambil baju-baju yang kemarin aku titipkan di rumahnya. Karena jarak rumah Cika lebih dekat dari hotel tempat resepsi diadakan. Aku memang meninggalkan beberapa baju di sini. Maka setelah Bara berangkat kerja, aku langsung pergi ke sini.

Aku menceritakan semuanya kepada Cika. Meskipun adikku itu kadang nyebelin, tapi kami memang suka curhat. Karena Cika adalah adik nomor dua dan aku lebih dekat kepadanya daripada Mila. Aku juga menceritakan jawabanku yang bilang nggak nyaman sama pernikahan saat Bara bertanya semalam.

"Lha iya, emang nggak nyaman. Mbak itu nikah juga karena dijodohin sama Ibu kan? Coba kayak kamu, bisa bebas mencintai."

Aku menyindirnya dan membuat Cika kini menghentikan aktivitasnya. Bahkan dia mencabut setrika dan kini berbalik ke arahku.

"Lha Mbak Mei itu kan emang penurut. Coba dari dulu Mbak itu berontak gitu, pasti nggak buat Bapak Ibu jadi berharap banyak sama Mbak. Aku kasihan tahu lihat Mbak Mei kayak diatur gitu."

Ucapan Cika membuatku menghela nafas. Semua itu sudah berlalu dan aku sudah tidak mempermasalahkan semuanya.

"Entahlah, Cik."

Aku memejamkan mata dan memijat pelipisku. Semua ini terlalu rumit untukku. Bahkan teka teki hubungan Bara dan Clara pun sampai saat ini masih membuatku sakit kepala.

"Eh, Mbak, si Bayu itu kan dulu pacarnya Mbak kan ya? Emang Mbak udah nggak ada rasa sama dia?"

Pertanyaan Cika kini membuatku membuka mata dan menatapnya. Kugelengkan kepala dengan cepat.

"Mana ada masih cinta kalau aku yang diputusin."

Cika menganggukkan kepalanya. Dia kini malah bergeser dan duduk di sampingku persis.

"Kalau aku jadi Mbak, mending milih abangnya aja. Bayu itu meski lebih cakep sih tapi kayaknya nggak serius sama hidupnya ya? Slengean gitu. Pria yang kayak gitu tuh nggak bisa diajak serius."

Ucapan Cika lagi-lagi membuatku mengernyitkan kening. Bagaimana dia bisa menilai hanya dengan bertemu sekali saja dengan Bayu?

Tepat saat aku akan menjawab, ponselku berdering. Aku mengambil ponsel di dalam tas yang aku letakkan di atas meja. Saat membuka ponsel dan menemukan nama Bayu di layarnya aku langsung menatap Cika. Dia ternyata juga melihat ponselku.

"Jawab aja Mbak. Kali ada informasi tentang si Clara itu. Dia kan calon suaminya."

Aku menganggukkan kepala dan langsung memencet tombol hijau untuk menjawab.

"Halo..."

"Mei, kamu di mana?"

Bayu terdengar panik di ujung sana.

"Aku di rumah adikku."

"Kamu tahu Bang Bara nggak? Aku telpon ponselnya nggak aktif. Masalah ini Clara ngamuk pingin ketemu Bang Bara."

Ada apa ini? Aku melirik Cika yang ikut mendengarkan karena aku loudspeaker. Cika juga tampak penasaran.

"Memangnya Clara ada apa?"

"Dia semalam melakukan percobaan bunuh diri. Entahlah, yang bisa nenangin semalam itu ya Bang Bara, dan sekarang dia ngamuk lagi. Kamu tolong hubungin Bang Bara ya. Suruh ke rumah sakit."

Sebelum aku bisa menjawab, telepon sudah terputus. Aku meletakkan ponsel kembali ke dalam tas.

"Eh gila aja tuh cewek. Maunya apa sih Mbak? Aku yang emosi lho dengarnya."

Cika kini malah bersungut-sungut mengatakan itu tapi aku makin pusing. Ponselku kembali berdering, saat aku mengambilnya kembali ternyata nama Bara yang terlihat. Aku langsung menjawabnya.

"Mas..."

"Mei..."

Kami berbarengan menyapa.

"Kamu di mana? Aku jemput ya?"

INI CUPLIKAN NOVEL CETAKNYA DAN PDF VERSI CETAK YA

INI CUPLIKAN NOVEL CETAKNYA DAN PDF VERSI CETAK YA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

YANG BERMINAT LANGSUNG KE WA 085643207626

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KALA MANTAN MENYAPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang