Selamat Membaca
Langit malam menggantung kelam di atas kota, bertabur bintang yang tampak jauh dan tak terjangkau. Angin dingin bertiup, membawa kesunyian yang semakin memperberat hati Freya. Ia berdiri di tepi sebuah jembatan yang tinggi, menatap ke bawah dengan pandangan kosong. Pikiran-pikiran gelap menyelimuti benaknya, memenuhi hatinya dengan rasa kehilangan dan putus asa yang tak tertahankan.
Freya menarik napas panjang, mencoba merasakan kedamaian dalam keheningan itu. Bayangan wajah Floran kembali mengisi pikirannya, senyum lembut yang dulu selalu menenangkannya. Namun, rasa sakit karena kehilangan yang begitu besar membuatnya merasa seolah tak ada lagi alasan untuk melanjutkan hidup.
Ketika ia mulai mendekatkan diri ke pinggiran jembatan, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pria tak dikenal duduk di sebelahnya, tampak tenang dan ramah. Freya terkejut sejenak, tetapi pria itu hanya tersenyum ringan, seolah tidak menyadari bahwa Freya berada di ambang tindakan yang begitu drastis.
“Hai,” sapa pria itu dengan lembut. “Malam yang sunyi, bukan?”
Freya menatapnya sekilas, ragu-ragu. "Iya... sunyi sekali," jawabnya dengan suara bergetar.
Pria itu, yang ternyata adalah Gito, memperhatikan ekspresi Freya. Ia dapat merasakan ada sesuatu yang berat di balik tatapan kosong gadis itu. "Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kita cintai," katanya dengan nada pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Freya menunduk, terdiam, merasa bahwa kata-kata pria ini begitu dalam dan menyentuh. "Aku tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup tanpanya," ujarnya lirih.
Gito menatapnya penuh simpati. "Aku pernah merasakan hal yang sama. Kehilangan itu seperti membawa sebagian dari jiwa kita pergi… membuat kita merasa kosong dan hampa. Tapi percaya atau tidak, akan ada harapan, meski hanya secuil," ujarnya dengan nada tenang.
Freya terdiam, membiarkan kata-kata Gito meresap dalam pikirannya. Perlahan, sesuatu dalam dirinya merasa tertarik untuk mendengarkan lebih lanjut, seolah kata-kata pria ini adalah tali yang menahannya dari kegelapan.
“Siapa yang kau rindukan begitu dalam, hingga kau merasa seperti ini?” tanya Gito, mencoba mengajak Freya membuka diri.
“Floran,” jawab Freya dengan suara lemah, “namanya Floran, dan dia adalah segalanya bagiku.”
Mendengar nama itu, Gito terkejut. "Floran?" gumamnya, tak menyangka bahwa gadis ini adalah orang yang selama ini dirundung kesedihan karena kehilangan sahabatnya sendiri. Gito tiba-tiba teringat akan pemakaman Floran, saat pertama kali melihat Freya yang begitu hampa, penuh duka.
“Aku mengenalnya. Floran adalah sahabatku,” kata Gito pelan.
Freya menatap Gito dengan terkejut. "Kau… kau sahabat Floran?"
Gito mengangguk. “Aku tidak banyak tahu tentang kehidupan cintanya, karena dia tidak banyak bercerita. Namun, aku selalu tahu bahwa Floran adalah orang yang penuh cinta dan semangat hidup.” Gito berhenti sejenak, memandangi Freya dengan lembut. "Dan jika ia bisa melihatmu sekarang, ia akan merasa sangat sedih, Freya."
Freya terdiam, terkejut dengan kenyataan bahwa pria di sampingnya ini adalah bagian dari kehidupan Floran. “Aku hanya merasa begitu hampa tanpanya… seolah semua warna hidupku ikut menghilang.”
Gito tersenyum kecil, seolah memahami perasaan Freya. "Aku tahu bagaimana perasaanmu, tapi… bukankah Floran telah meninggalkan banyak kenangan indah untukmu? Ia pasti ingin melihatmu kuat, meneruskan hidup dan mengenangnya dengan senyuman, bukan dengan kesedihan seperti ini.”
Freya terdiam, meresapi kata-kata Gito. Untuk pertama kalinya sejak kepergian Floran, ia merasa sedikit tenang, seolah ada cahaya kecil yang mulai menembus kabut duka di hatinya.
"Freya," lanjut Gito dengan nada tulus, "aku tidak tahu banyak tentangmu, tapi aku bisa melihat bahwa kau adalah orang yang kuat. Kau telah melalui banyak hal, dan aku yakin, meski sulit, kau bisa melanjutkan hidupmu. Bukan untuk mengabaikan kenangan tentang Floran, tapi untuk menghargainya."
Air mata mulai mengalir di pipi Freya. Ia merasakan beban yang begitu lama menghimpitnya perlahan sedikit berkurang. “Terima kasih… Gito,” ucapnya dengan suara terisak.
Gito menatap Freya dengan lembut, merasakan keinginan yang tulus untuk membantunya. Meskipun ia pernah merasakan getaran cinta pada pandangan pertama, ia tahu bahwa malam ini bukanlah tentang itu. Malam ini adalah tentang membantu seseorang yang begitu penting bagi sahabatnya.
“Mulai sekarang, aku akan ada di sini jika kau butuh seseorang untuk mendengarkan atau menemanimu,” kata Gito sambil menepuk bahu Freya dengan lembut. "Kita bisa menjalani hari-hari ini bersama, selangkah demi selangkah, hingga suatu hari kau bisa tersenyum lagi."
Freya menatap Gito dengan rasa terima kasih yang mendalam. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak kepergian Floran, ia merasa sedikit lebih ringan. Di bawah langit malam yang sunyi, Freya dan Gito duduk bersama, menemukan harapan baru dalam kesedihan yang membelenggu. Freya tahu bahwa jalan untuk melanjutkan hidupnya masih panjang, tetapi kali ini, ia merasa tidak lagi sendirian.
Langit malam semakin kelam ketika Aldo berlari ke rumah Freya. Sejak pagi, ia mencoba menghubungi Freya yang tak kunjung membalas pesan atau teleponnya. Kekhawatirannya semakin besar, apalagi setelah beberapa hari terakhir melihat kondisi Freya yang terus tenggelam dalam duka. Sesampainya di rumah Freya, ia mengetuk pintu beberapa kali, namun tetap sunyi, tak ada jawaban.
“Freya? Kau di dalam?” Aldo memanggil dari luar. Perasaannya semakin tak tenang ketika tak ada jawaban. Ia berkeliling ke beberapa tempat yang biasa mereka kunjungi, berharap bisa menemukan Freya di salah satunya. Namun, pencariannya tak kunjung berhasil. Pikirannya mulai kalut, takut bahwa Freya akan melakukan sesuatu yang berbahaya.
Akhirnya, Aldo memutuskan pergi ke tepi jembatan kota—tempat yang sering dikunjungi orang untuk melampiaskan kesedihan. Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang untuk menenangkan diri, dan melangkah ke arah jembatan dengan perasaan yang tak menentu.
Dari kejauhan, ia melihat sosok yang dikenalnya berdiri di pinggir jembatan. Freya, tampak murung dan tenggelam dalam pikirannya. Namun, sebelum Aldo sempat menghampirinya, ia melihat seseorang yang asing baginya tengah duduk di samping Freya. Pria itu menatap Freya dengan tatapan lembut, dan mereka tampak berbicara dengan penuh keseriusan.
Aldo merasakan jantungnya berdebar tak menentu, seiring dengan munculnya rasa cemburu yang tak dapat ia kendalikan. Ada sebersit rasa sakit melihat Freya bersama pria lain, apalagi ketika ia menyadari bahwa perasaan itu sudah ada sejak lama—bahkan sebelum Freya dan Floran bersama.
"Jadi... Freya sudah menemukan seseorang yang baru?" gumamnya pelan, mencoba menyembunyikan perasaan kecewanya sendiri.
Tanpa mendekat lebih jauh, Aldo memilih untuk berbalik dan pergi, rasa cemburu dan sakit hati menguasai hatinya. Dia menghela napas berat, merasakan kebingungan dan kesedihan yang sulit dijelaskan. Selama ini, ia berusaha berada di sisi Freya, berharap bisa menghibur dan menjadi pendukungnya. Namun, melihat Freya bersama pria lain membuat Aldo merasa tak lagi punya tempat di hati Freya, meskipun ia tahu perasaan ini tak seharusnya ada di saat Freya masih berduka.
Aldo berjalan pulang, membiarkan angin malam mengiringi langkahnya yang berat. Di tengah perjalanan, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk terus ada bagi Freya sebagai sahabat, meski perasaannya hanya bisa terpendam dalam diam.
--------
Oo gitu do ternyata selama ini ada batu dibalik udang ytta sih do
😁😁😁
Sorry ya aga telat tadi lagi ngeliatin sales parfum tiba tiba ketiduran 😁😁 sorry dah ya
KAMU SEDANG MEMBACA
diantara dua cinta
Romancekisah perjalanan Freya untuk menemukan keberanian melangkah ke depan bersama Gito, sembari melawan bayangan Floran yang terus menghantuinya. Akankah Freya membuka hati sepenuhnya, atau tetap tenggelam dalam cinta yang tak mungkin kembali? Cerita ini...