5

41 7 4
                                    

Selamat Membaca




















Setelah berita kepergian Floran yang begitu tiba-tiba, kehidupan Freya berubah drastis. Hari-harinya yang dulu penuh tawa, inspirasi, dan kebersamaan kini seakan hampa, tertelan dalam bayang-bayang kenangan yang terasa begitu dekat namun tak lagi bisa ia raih. Kamar tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama, kafe favorit mereka, hingga lukisan-lukisan di rumahnya semua kini tampak membisu, meninggalkan luka yang seakan tak kunjung sembuh.

Setiap pagi ketika bangun, Freya berharap kepergian Floran hanyalah mimpi buruk. Tetapi kenyataan dengan cepat menghantamnya lagi, mengingatkannya bahwa Floran benar-benar telah pergi. Hanya surat-surat dari Floran yang masih ia simpan di laci meja kamarnya yang menjadi satu-satunya bukti betapa dalamnya cinta Floran kepadanya. Namun surat itu hanya menambah perih di hatinya, bukan mendamaikan luka.

Aldo, yang dititipi pesan oleh Floran, akan bertanggung jawab untuk menjaga Freya. Dia sering berusaha datang untuk menghibur dan menemani Freya, berharap bisa memberikan dukungan yang dibutuhkan sahabatnya.

Suatu sore, Aldo datang ke rumah Freya dan mendapati Freya duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela.

"Freya, maukah kau pergi keluar bersamaku? Mungkin kita bisa berjalan-jalan… atau sekadar menghirup udara segar?" Aldo mencoba mengajak dengan nada lembut.

Freya menoleh padanya sejenak, hanya untuk memberikan senyuman kecil yang samar, lalu mengalihkan pandangannya kembali. “Maaf, Aldo. Aku… aku merasa lebih baik di sini saja.”

Aldo menarik napas panjang, mencoba mengerti. “Aku tahu ini berat, Freya. Aku juga kehilangan Floran, sahabat terbaikku. Tapi aku yakin dia tidak akan ingin melihatmu seperti ini, terpuruk dan kehilangan arah.”

Freya tetap diam, menggeleng pelan. "Aku tidak tahu bagaimana harus hidup tanpa dia, Aldo. Setiap sudut tempat ini mengingatkanku padanya. Pada tawanya, senyumnya, dan semua janji yang tak lagi bisa ia tepati.”

Aldo merasa tak berdaya mendengar ucapan Freya. Ia ingin menghibur, namun kata-kata yang ia ucapkan seakan tidak pernah cukup untuk menenangkan hati yang terluka begitu dalam.

Minggu-minggu berlalu, dan Freya semakin menutup dirinya dari dunia luar. Ia jarang meninggalkan rumah, tidak lagi pergi ke kafe favorit mereka, bahkan berhenti melukis—sesuatu yang dulu selalu memberinya kebahagiaan. Karya-karya yang ia hasilkan bersama Floran kini hanya menjadi ingatan yang menggores perasaannya.

Di beberapa kesempatan, Aldo kembali mencoba mengajak Freya untuk keluar atau sekadar melukis bersama, namun Freya selalu menolak.

“Freya, kau harus melanjutkan hidupmu,” ucap Aldo suatu hari dengan nada pelan. “Floran tidak akan ingin melihatmu seperti ini. Kau tahu betapa ia selalu ingin melihatmu bahagia dan berkarya.”

Freya menatap Aldo sejenak dengan mata yang memerah. “Kau tidak mengerti, Aldo. Kehilangan Floran… adalah kehilangan diriku juga. Seperti aku kehilangan bagian dari jiwaku yang tak bisa aku temukan lagi.”

Aldo hanya bisa menunduk, memahami betapa dalamnya luka yang Freya rasakan. Ia tahu bahwa memaksa Freya hanya akan membuatnya semakin menjauh. Namun ia tetap berada di sisi Freya, berharap suatu saat sahabatnya ini akan kembali menemukan dirinya sendiri.

Setiap malam, Freya duduk di tepi jendela kamar, menatap langit yang gelap dengan perasaan hampa. Ia teringat percakapan terakhir mereka, surat-surat dari Floran, dan janji-janji yang tak akan pernah terwujud. Terkadang ia berharap bisa berkomunikasi dengan Floran melalui bintang-bintang, mengirim pesan ke surga untuk menyampaikan betapa ia merindukannya.

“Mengapa kau pergi begitu cepat, Floran?” gumam Freya pada suatu malam, air mata mengalir tanpa henti. "Aku bahkan tidak bisa mengucapkan selamat tinggal dengan benar."

Hari demi hari, Freya semakin terperangkap dalam kesedihannya. Ia menghindari teman-teman, keluarganya, dan bahkan hobinya sendiri. Melukis yang dulu memberinya kekuatan, kini justru membuatnya semakin merasakan kehilangan.

Di akhir bulan, Aldo datang dengan harapan terakhir untuk membantu Freya keluar dari rasa terpuruknya. Ia membawa sketsa yang pernah dibuat Floran untuk Freya, sketsa sederhana namun penuh makna tentang hari-hari mereka bersama.

“Freya, aku tahu ini berat. Tapi lihat, Floran meninggalkan banyak kenangan indah untukmu. Kenangan yang bisa menjadi kekuatanmu,” ucap Aldo, meletakkan sketsa itu di atas meja Freya.

Freya menatap sketsa itu dengan mata berkaca-kaca. Ia merasakan seluruh perasaannya teraduk-aduk—antara rindu, kesedihan, dan kemarahan karena kehilangan yang begitu mendalam.

“Aku tahu, Aldo. Aku tahu dia ingin aku bahagia, tapi aku tidak tahu bagaimana melakukannya tanpa dia,” isak Freya. Ia memeluk sketsa itu dengan erat, seolah-olah itu adalah Floran.

Aldo hanya bisa menatap Freya dengan penuh simpati, menyadari bahwa luka di hati Freya mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Tetapi ia berjanji akan terus ada, di sisi Freya, menunggunya untuk bangkit kembali dari rasa kehilangan yang menghancurkan.

Meski telah berbulan-bulan berlalu, Freya masih terperangkap dalam fase kesedihan yang mendalam. Setiap kenangan dengan Floran masih terasa begitu hidup di pikirannya, seolah-olah Floran masih berada di sisinya. Namun, ia tak mampu menghadapi kenyataan bahwa Floran tak akan kembali.

Freya hanya bisa menatap kosong ke arah langit, berharap bahwa suatu hari nanti ia bisa menemukan kedamaian. Namun untuk saat ini, ia tetap terjebak dalam labirin kesedihan yang tak berujung, menunggu waktu untuk menyembuhkan luka yang begitu dalam di hatinya.












-----

Kok cuma Aldo ya yang nemenin Freya yang lagi di fase  sedih kayak gini?

Kemana ya temen temennya, apalagi orang tuanya.

Pada kemana ya?

diantara dua cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang