02. Sebelum Bertemu di Hari Itu

7 0 0
                                    

Handphone Aya tak berhenti berbunyi sedari tadi. Siapa lagi kalau bukan Damar yang menghubunginya. Tapi sepertinya Aya tak ingin lagi mengangkat maupun mendengar semua ocehan Damar. Apalagi setelah tangan Damar melesat mulus ke pipinya sampai akhirnya mengucurkan darah yang cukup banyak. Luka itu tak hanya tampak di sekitar bibir Aya, tapi juga di hatinya. Bagaimana tidak, Damar dan Aya sudah bertunangan dan hanya hitungan bulan saja mereka akan menikah. Tapi kenapa harus ada kejadian ini, pikir Aya secara mendalam. Kadang memang begitu, semesta kadang memberikan satu penanda yang membuat kita bingung apakah harus terus berjalan atau lebih baik berhenti sekarang.

Di dalam Apartmentnya, Aya meringkuk sendirian seperti tak tahu harus berusaha apa lagi untuk melanjutkan sisa hari ini. Sepertinya tinggal hitungan waktu saja, Damar datang, masuk ke Apartmentnya, dan menghajarnya lagi karena tidak mengangkat telpnya. Damar memang sudah mengetahui kode dari kamarnya, jadi harusnya tidak sulit untuknya untuk datang sekarang. Namun, Aya seperti sudah tidak memperdulikannya. Aya jadi berpikir kembali, apa yang sebenarnya membuat orang tuanya memilih Damar. "Apakah memang dia sebaik itu di mata Papa Mama?", pikir Aya dalam hati. Tapi lagi-lagi, luka-luka yang sudah ada di tubuh Aya menunjukkan bahwa itu adalah keputusan yang keliru.

"Apa aku harus menunjukkan seluruh luka-lukaku kepada Papa Mama?"

"Ah.. terakhir kali aku menunjukkannya, mereka malah memintaku untuk memakluminya saja. Malah aku yang disalahkan karena tidak nurut kepada Mas Damar."

Pikiran Aya meracau terus menerus.

Tangannya memegang hp yang sudah terdiam dari 5 menit yang lalu. "Sepertinya Mas Damar akan datang ke sini.", pikir Aya. Tangannya melihat-lihat satu persatu kontak yang ada di hpnya, seperti sudah tidak ada hiburan lagi selain melihat nama-nama yang tertera di address book itu. Sampai akhirnya tangannya berhenti di satu nama... Nama yang entah kenapa bisa membuatnya berdiri dari tempat duduknya sekarang, dan Aya memberanikan diri untuk memencet tombol call di kontak tersebut.

"Halo?" suara itu menjawab di ujung telephone, dan seketika itu juga air mata Aya tertumpah lagi.

".................", Aya tidak bersuara apapun dan lebih membiarkan orang yang ditelpnya kebingungan mendengar dia menangis. Sampai akhirnya...

"Kamu bisa menemani aku di Teluk Soka? Sekali ini saja..."

"Kapan?", jawabnya di ujung sana.

"Sekarang... Aku akan ke sana sekarang."

"Aya jangan aneh-aneh, ini sudah gelap ya. Jalan di sana waktu siang aja ga terlalu aman, apalagi sekarang. Kamu kenapa Aya kok sampai nangis gini??", kekhawatirannya semakin meninggi.

"Aku butuh ke sana, mungkin untuk yang terakhir kali. Aku ke sana sekarang.", jawab Aya sambil menutup telpnya.

Aya segera menghapus air mata dan luka di bibirnya, mengambil jaket dan bergegas mencari taxi dan berangkat ke sana. Entah apa yang ada di pikiran dan rencananya hari ini. Aya hanya meyakini bahwa Teluk Soka akan bisa memeluk dan menenangkannya malam ini...

Sementara itu di ujung lain kota ini..

Segera diambilnya jaket kulit yang tergantung itu bersama 2 helm yang ada di garasi. Motornya segera dinyalakan untuk siap-siap pergi. Tiba-tiba..

"Kak! Kakak mau kemana??"

"Ada urusan penting, kamu jaga Bunda ya. Ganti kompresnya tiap 1 jam, jangan sampe panas Bunda lebih dari 39. Inget ya Dek."

"Hati-hati Kak, cepet balik ya."

Dengan cepat motor itu pergi. Teluk Soka memang tidak terlalu jauh dari situ, cuma di kondisi segelap ini, apapun bisa terjadi kepadanya. Khawatir? Sudah pasti, siapa yang tidak khawatir mendengarnya menangis. Sebenarnya ada rasa aneh yang dia sadari saat ini, yakni kekhawatiran itu ternyata tidak pernah berubah dari dulu. Rasa yang kompleks, yang tidak bisa dijelaskan dengan hanya sekedar kata-kata. Di malam itu dia pun menyadari bahwa, sesuatu yang istimewa tidak akan bisa dilupakan dengan cara yang sederhana..

Cahaya dan CorneliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang