05. Surat Yang Tidak Pernah Terbaca

7 0 0
                                    

"Kakkkk... jangan lupa anter aku sekolahhhh"

Teriakan plus gedoran pintu dari Lexa seketika membangunkan Nelia dari lelap tidurnya. Begitupun Aya.

"Haduh tuh bocil, ganggu aja. Coba bayangin, suaranya itu lebih mengganggu daripada alarm!", gerutu Nelia.

"Udah Nel.. kamu segera bangun sana, daripada Lexa telat lho."

"Iya sayang. Nanti kamu mandi, terus pakai bajuku aja ya. Ambil aja di lemari itu. Oh iya, itu sikat gigi sama handuk cadanganku pakai aja. Ambil di laci nomer 2 yg di atas kotak abu-abu itu ya, stok baru kok itu.", ujar Nelia sambil tangannya menunjuk kotak yang dimaksud. "Nanti aku titip tengokin Bunda juga ya, ingetin sarapan sama minum obatnya. Ya harusnya sih si bocil itu udah nengokin Bunda, cuma aku trust issue aja."

"Iya Nelia sayang, bawel juga ya kamu pagi-pagi ini.", Aya mengatakannya sambil tersenyum lucu.

"Bawel apaan sih....", muka Nelia tiba-tiba memerah mendengar perkataan Aya itu. "Udah ah, aku tinggal dulu ya..."

Suasana pun menjadi senyap setelah Nelia bergegas pergi mengantarkan Adiknya ke sekolah. Aya pun segera bangun, mengingat dia harus segera mandi untuk mengecek keadaan Bunda. Jelas hal yang kurang bagus jika bertemu Bunda dalam keadaan belum mandi. Aya berjalan menuju laci yang tadi sudah di-mention oleh Nelia. Namun kotak yang tepat berada di bawah laci itu justru yang menarik perhatian Aya saat ini. Kotak abu-abu itu tertulis, "Box of Happiness Memories"

Ternyata itu adalah kotak yang sebelumnya di-mention juga oleh Lexa, yang berisi segala memori antara Nelia dan Aya sebelum mereka memutuskan untuk berpisah. Aya memutuskan untuk membawa kotak itu ke atas kasur dan mulai membongkarnya satu-persatu. Aya kadang tersenyum kecil, lalu kadang tertawa sendiri karena mungkin mengingat memori-memori lucunya ketika melihat foto itu. Lalu sampai di titik Aya meneteskan air matanya.

"Ayolah... jangan menangis dulu pagi ini...", gumam Aya dalam hatinya. Tapi hal tersebut tak bisa memungkiri bahwa foto itu memang mengandung banyak kenangan indah bagi mereka berdua. Sampai akhirnya tangannya terhenti pada sebuah amplop yang sangat asing baginya. Segala detail hal dalam kotak itu seharusnya juga berhubungan dengan Aya, tapi untuk amplop ini Aya tidak pernah merasa mengingatnya. "Amplop apa ini? Apa isinya?".

Dikeluarkanlah sebuat surat dari amplop tersebut, dan mulailah Aya membacanya:

Untuk Cahaya,

Aku menulis ini dengan hati yang berat, tetapi juga dengan harapan bahwa setiap kata di sini akan bisa memberi kita kelegaan, meski hanya sedikit. Ini mungkin menjadi surat terakhir yang kutulis untukmu, Cahaya. Memikirkan bahwa ini harus menjadi akhir kita — rasanya sulit diterima. Namun, aku tahu ini adalah jalan yang sudah kamu pilih, dan aku ingin menghormati keputusanmu, meskipun itu berarti melepaskanmu dari genggaman tanganku.

Cahaya, kamu adalah mimpi yang tak pernah kuduga akan hadir dalam hidupku. Dalam setiap senyum, tawa, dan hangatnya pelukanmu, aku merasa dunia ini begitu damai. Bersamamu, aku merasakan apa artinya diterima, apa artinya dicintai tanpa syarat. Kamu adalah alasan di balik setiap senyumku dan alasan mengapa hari-hariku terasa lebih berwarna. Aku selalu bersyukur untuk setiap momen kecil yang kita lalui bersama — saat hujan deras kita berteduh berdua, saat malam terasa panjang namun hangat dalam dekapanmu, saat kita berbagi cerita dan mimpi-mimpi kita.

Aku tahu betapa sulitnya situasi ini untukmu. Aku tahu kamu telah berjuang di antara cinta yang kita punya dan harapan yang keluarga kamu miliki. Dalam hatiku, aku hanya bisa berdoa agar kamu menemukan kebahagiaan di jalan yang kamu pilih ini, bahkan jika itu bukan denganku di sisimu. Aku ingin kamu tahu, Cahaya, bahwa cinta kita selalu menjadi sesuatu yang nyata, meskipun sekarang tampaknya hanya akan menjadi kenangan.

Aku ingin kamu bahagia, Cahaya. Meski jalan itu membawamu jauh dariku, aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu, apa pun yang terjadi nanti. Tidak ada rasa sakit yang bisa menghapus cinta ini, dan tidak ada waktu yang bisa menggantikan apa yang sudah kita jalani. Kamu akan selalu menjadi bagian dari diriku yang tak tergantikan.

Berjanjilah, Cahaya, bahwa kamu akan hidup bahagia. Berjanjilah bahwa kamu akan selalu menjadi cahaya bagi dunia di sekitarmu, seperti kamu telah menjadi cahaya untukku.

Terima kasih, Cahaya, untuk setiap momen, setiap tawa, dan setiap cinta yang kamu beri. Meski kita harus berpisah, aku akan selalu menyayangimu, dalam setiap hembusan napas dan langkahku.

Dengan segala cinta yang pernah dan akan selalu ada,

Cornelia.

Surat yang tak pernah sampai, akhirnya terbaca untuk pertama kalinya oleh orang yang seharusnya menerima surat itu. Seketika surat itu mulai basah oleh tetesan air matanya.

Cahaya dan CorneliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang