6. Nur dan Agni

64 14 15
                                    

Catatan penulis : setting sebelum SBKRI ( Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia ) dihapus.



Di balik daster dan rambut kunciran gelang karet yang Agni ambil dari bungkus nasi pecel ada rasa yang pejal mengganjal. Gemerutuk geraham yang menahan amarah yang ingin ia muntah. Nur kecil dalam gendongannya yang membuat ia bertahan tetap waras meski sabarnya dikoyak moyak ambang batas. Dihirupnya aroma bayi yang empat belas bulan ini menemaninya. Aroma khas yang menenangkannya.

"Sudah dapat SBKRI ?" tanya Agni datar sambil menuang segelas air putih untuk Jun Hui suaminya yang baru pulang nguli. Pria bermata sipit itu mengusap peluh yang bercucur dengan ujung kaosnya.

"Belum. Calonya minta harga lebih tinggi," sahut Jun datar. Meneguk segelas air putihnya. Agni mendekus. Membanting pantatnya di bangku kayu yang keras.

"Trus kalau Nur akan sekolah bagaimana? Trus kalau ditanya akte kelahirannya bagaimana? Mau anak kita ditulis ANAK LUAR NIKAH?" Agni berteriak dengan berapi-api.

"Bisa tidak kamu turunkan suaramu?" Jun menatapnya dengan sorot penuh teguran. Agni melengos. Nur dalam gendongannya menggeliat pelan. Seolah sedikit terusik dengan amarah ibunya.

"Aku heran dengan sistem pemerintahan kita. Kamu lahir di Indonesia. Tidak pernah keluar negeri. Bagaimana bisa ditulis WNA?"

Jun tidak menjawab. Ia bukan Holland Spreken. Ia Chinese Totok.. Jangan harap sesama Chinese bisa bersatu dengan mudah. Holland Spreken dan Totok seperti air dan minyak. Andai ia Holland dan punya banyak cuan. Gampang. Dan tentu ia tidak menikah dengan Agni. Tapi dengan ...

"Jika tidak ada buku nikah orang tua, bisa digantikan dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak / SPTJM, dan calonya minta 10 juta," jelas Jun lirih. Bersandar di tembok usang yang catnya sudah mengelupas di sana-sini. Agni tertawa geli, sedramatis ini ia menikah dengan Chindo.

"Kamu berhalu bahwa suamimu ini orang penting? Psikologi forensik yang punya koneksi bejibun hingga semua tinggal sim salabim?" Jun meledeki.

"Apa sih, Jun? Jangan ngawur?" Agni berang. Mukanya merah padam. Lanskap sempit itu beraroma lumut berbaur keringat Jun dan aroma bayi Nur.

Andai saja waktu bisa diubah dan ia tidak gegabah? Andai Bagaskara memberinya kepastian? Andai pria penyabar itu punya sedikit keberanian untuk memperjuangkannya? Agni pasti akan memilihnya. Ia memilih Jun karena 'terbiasa'dengan aroma rokok, terbiasa dengan kata-kata sarkas. Agni bertumbuh dalam keluarga yang belum dewasa secara emosional. Orang tuanya memang tidak bercerai. Tapi mereka seperti petarung yang siap melemparkan kata-kata kasar. Saling mengintimidasi. Saling menghakimi. Bahkan Agni sering menjadi pelampiasan amarah. Jika tidak begitu, ibunya bisa mendiamkannya belasan jam.

"Sudahlah. Kita sudah berusaha," Jun bersuara rendah. Mengelus pucuk surai Agni. Sebelum mengecup pucuk kepala Nur yang terlelap pulas tanpa beban.

Bayi montok itu tidak tahu pergulatan batin kedua orang tuanya.

"Aku cuma beli nasi pecel. Aku pisahkan lauknya, uangnya tidak cukup untuk beli beras dan lauk. Fokus untuk susu Nur," Agni ucap itu dengan tercekat. Jun tertawa. Nyata ada kilauan telaga air mata. Menatap sepiring nasi dengan kangkung dan touge kukus. Dengan sambal pecel. Sepotong tempe goreng dan peyek yang telah layu.

"Kita makan bersama?" Jun tawarkan itu. Nur menggeleng. Meski perutnya keroncongan. Tapi ia biarkan. Toh asinya tidak keluar. Hingga Nur minum susu formula. Jun yang lebih butuh makan. Jun bekerja keras.

"Makanlah, jangan biarkan agni dalam dirimu membakar. Hidupkanlah nur di sanubari agar terang," Jun ucap itu dengan tangan terulur hendak menyuapinya. Agni tertawa tanpa suara. Anehnya air matanya justru luruh. Ia usap dengan ujung daster kumalnya. Satu suapan Jun dan kalimat datarnya menyublim dalam sanubarinya. Jun banyak berubah. Tak lagi pemarah.


________

Enha// Nov '24

MENJAHIT SAYAP KOYAK (Kumpulan Cerpen & Puisi )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang