Dentuman langkah Mas Agav menggema di seluruh ruangan. Kerlipan lampu tak cukup menerangi gelapnya rumah kala itu. Aku hanya bisa bersimpuh ketakutan di balik selimut tebalku. Mencoba menghilangkan asumsi buruk yang terus berputar di setiap sel tubuhku. Mas Agav tidak dursila. Dia hanya keliru. Keliru untuk memahai hal yang bertentangan dengan harapanya. Aku bisa mengerti
Tapi kapan dia berhenti berlagak seperti tukang centeng yang siap memukul tanpa ampun? Kapan dia merubah etosnya? Apakah dengan pandangan hidupnya saat ini, Mas Agav dapat memperoleh apa yang dia harapkan?
"Mas Agav, ampun, mas. Jangan pukul Tia lagi. Ampun mas!" Dekapan tanganku seolah memohon ampun kepadanya. Menolak perlakuanya kepadaku.
"Kamu yang buat mama meninggal. Mati kamu!" Suaranya mengalahkan gelegar petir. Tanganku bersiap membuat proteksi dari agresi oleh Mas Agav. Bisakan aku mendapatkan yustisi atas apa yang kudapatkan selama kurang lebih 9 tahun ini? Aku bahkan tidak melakukan hal tak senonoh, vandalisme atau pembunuhan berencana. Namun kelahiranku memberi duka mendalam untuk Mas Agav. Ralat, duka untuk semua orang. Itu sepenggal kisahku. Dahulu.
YOU ARE READING
Did You Know That ...
Teen FictionKesal, marah, benci, kecewa, bahagia, sedih, takut, jijik. Seberapa banyak emosi yang dapat dirasakan manusia? Paul Ekman, seorang psikologis, mengelompokkannya dalam 6 emosi utama yang akan berkembang melalui menggabungan suatu emosi dengan emosi...