Malam sudah tinggal seperempatnya. Mataku belum terpejam sepenuhnya. Bayang-bayangnya kembali lagi, lebih dalam dan dalam lagi setiap harinya. Belum kurasakan tidur yang nyenyak semenjak peristiwa itu. Puluhan pil tidur sudah teronggok di pencernaan demi kabur dari perihal duniawi.
Kusingkap selimut yang membungkus badanku. Kakiku menapak pada lantai marmer dingin akibat angin malam. Bahkan marmer belum cukup menjagaku. Tembok yang kokoh tidak bisa melindungiku dari suatu kekejian.
Balkon yang sedari tadi terbuka menjadikan udara berkali lipat menusuk. Tanganku meraih knok pintu sebelum aku melihat papa duduk bersama mas sekalian. Hendak mengetahui situasi, kulepaskan tangkai pintu, mengurungkan niat untuk menutupnya.
Mas Grava menunduk tidak menatap papa. Sementara papa memandang mas yang lain lalu menadahkan tanganya di kepala. Seakan naik pitam, papa beteriak kepada yang anaknya. Mas Agav bangun dari duduknya kemudian pergi masuk ke dalam. Temaram lampu taman tidak cukup memberi tahuku apa yang sedang mereka saling ucapkan. Ketika satu persatu masuk dan menyisakan papa diluar, kini giliranku menemui papa.
"Papa!"
Papa hanya menatapku lama. Matanya sudah berair, siapa yang tidak tahu? Papa manusia pembohong yang sama dengan yang insan lain.
"Adek kenapa nggak bilang papa? Ini masalah besar lo dek, jangan lah dipendam sendiri"
"Papa masih di Macau kan ngurusin kerjaan papa. Nggak mungkin Tia tega ganggu papa"
"Kan ada mas. Kenapa adek nggak terus terang sama mas aja?"
"Pa, Papa coba pikir. Mas Grava sibuk semester akhir di Bogor. Mas Raven, Mas Arven lebih sering tinggal di rumah yang di Bandung dan Papa tahu kan Mas Agav nggak pernah suka sama Tia? Papa tahu nggak sih posisi Tia di rumah ini? Tia tuh cuman bawa penderitaan aja ke orang rumah termasuk papa"
"Papa nggak pernah ajarin adek berkata yang buruk kayak gitu ya!"
"Papa emang nggak pernah ajarin Tia karena papa lebih fokus sama kerjaan papa"
Segera kutinggalkan papa di luar. Rasanya runyam. Mataku sudah tidak bisa melihat mana yang benar dan salah. Siapa yang berada di kubuku saat ini? Tidak ada.
"Egois."
Belum sempat kutapaki anak tangga ke empat, berhadapan aku dengan saudara yang menghinakanku. Apalagi kali ini? Apa Mas Agav ingin aku mati untuk ke seribu kalinya? Aku bersedia.
"Iya Tia egois. Mau apa Mas Agav? Pukul Tia lagi?"
"Lo tau nggak sih, lo masih sama egoisnya kayak dulu. Lo salahin papa karena kesalahan lo sendiri. Mama meninggal juga karena lo egois. Anjing."
"Tia emang salah kalo berharap Mas Agav jadi orang baik."
Memang dari hilir ke hulu pun aku sendiri.
YOU ARE READING
Did You Know That ...
Teen FictionKesal, marah, benci, kecewa, bahagia, sedih, takut, jijik. Seberapa banyak emosi yang dapat dirasakan manusia? Paul Ekman, seorang psikologis, mengelompokkannya dalam 6 emosi utama yang akan berkembang melalui menggabungan suatu emosi dengan emosi...