Bab 1 ; Mula

1 0 0
                                    

"Wrightia Alstonia Ruell?" Sentaknya. Lamunanku buyar. Pikiranku sedari tadi terfokus pada papa. Tanpa sadar aku ada di kelas matematika. Duduk di bangku dengan buku tulis dan pensil yang berserakan di sepanjang meja.

"Ya pak?"

"Bangunin temen sebangkumu!"

Mataku membidik wajah Noel. Kantung matanya terlihat jelas. Jujur saja aku kasihan untuk membangunkanya. "El, Noel. Bangun bocah!"

Matanya mengerjap. Menyadari suasana sekitar, tubuh Noel bangun dari tidurnya. Noel mengambil kacamatanya lalu membetulkan letak di rangka hidungnya.

"Maaf pak"

Ceramah akan digelar sampai 30 menit kedepan. Aku memilih untuk keluar kelas dengan embel-embel ke kamar mandi. Sekedar melihat suasana luar sambil jalan-jalan melihat taman sekolah.

"Ruell!"

Seseorang memanggilku dari belakang. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Tak ada siapapun.

"Ruell!" Tangan kekarnya menyeretku ke dalam gudang sekolah. Ruanganya remang-remang, nyaris gelap, penuh debu dengan alat-alat disana sini.

"Attar, Attar, lo ngapain?" Tangan Attar mulai menjelajahi setiap bagian tubuhku. Aku merintih pelan.

"Jangan pernah lo ceritain ini ke orang lain!" Ancam Attar. Bahkan aku tak bisa bergerak sedikitpun. Kulihat celah di saat Attar melemparkan ciumannya di setiap jengkal leherku. Kakiku hampir mati rasa dibuatnya, kuusahakan untuk mendorongnya mati-matian dan menyerang titik lemahnya.

Jantungku tak karuan. Bajingan.

Kuhapus semua air mataku. Tanpa mempedulikan barang-barangku di kelas, aku berlari menuju parkiran dan mengambil sepeda ontel milikku. Kukayuh kencang melewati pertigaan pertama. Deru mesin kendaraan mendampingiku kabur hari itu.

Lemas sekali. Aku menepikan sepedaku. Berteduh dibawah rindangnya daun trembesi. Jumantara sedang terik-teriknya. Tapi diriku basah dengan keringat di sekujur tubuh. Aku harap ini hanya khayalan semata. Tuhan, bangunkan aku dari tidurku.

Didepanku arus kendaraan sedang stagnan. Aku termenung sambil melihat suasana ricuh para pengendara. Sambil berfikir, kepada siapa aku bisa berkeluh kesah? Apakah papa? Naluri seorang ayah tak lebih dari ibu. Aku ingin mama. Untuk saat ini, aku ingin mama. Deburan tanah membuatku terbatuk pelan. Lalu meneteskan lagi air mata.

"Ma... Tia takut ma. Tia mau mamaa. Tia mau ikut mamaa. Tia nggak mau disalahin lagi sama Mas Agav. Tia nggak mau disakitin lagi sama orang-orang disekitar Tia... Mama tolong denger Tia"

Aku membendung aliran air di wajahku dengan kedua tanganku. Tidak mau menampakkan tangis di antara pengendara motor di depanku.

Aku berdiri dari dudukku. Membersihkan sisa-sisa tanah dan kotoran di rok seragam sekolahku. Kutarik sepedaku yang tersungkur di trotoar jalan. Angin berembus sekejap. Membuat hawa dingin untuk sementara.

Kulanjutkan perjalananku sampai rumah. Hening.

"Mas?" Kusapa semua orang di rumah. Tidak ada jawaban.

Akhirnya telah sampai aku di tempat tujuanku. Kamar papa. Yang lebih kusebut 'kamar mama'. Kutumpahkan semua cerita yang kulalui. Tangisan, kekecewaan sampai gurau tawa dan berakhir tertidur pulas dengan dekapan foto mama di tanganku.

Did You Know That ...Where stories live. Discover now