"Mas Raven duduk depan sendiri ya?, Tia mau di belakang sama papa"
Papa tertawa atas celetukanku kemudian merengkuh pundakku, "Sini adek sama papa". Aku membantu papa menata barang di bagasi. Sementara itu, Mas Raven menenteng delapan paper bag bawaan papa. Papa mengatur penempatan kopernya dengan apik. Sejalan dengan sifat papa yang rapi. Aku melihatnya dengan seksama dengan telapak tanganku yang terus menempel dengan lengan papa.
"Adek masih mau gandeng papa?" tanya papa. Baru kusadari papa hendak memasukkan koper besar yang ia bawa.
"Apaan sih, dedek clingy banget" ujar Mas Raven dengan raut heran.
"Eh, oiya pa" kulepaskan pengangan tanganku. Secepatnya kualihkan pandanganku ke bidang lainya. Jelas sekali rasa rindu. Rindu yang teramat kepada papa. Merasa tidak ada pelarian lain selain menyerahkan gelisah pada papa. Aku belum menjadi anak yang tangguh.
Papa membuka pintu mobil kemudian masuk bersamaan denganku. Mas Raven mulai menjalankan kendaraan. Aku masih ingin tertaut dengan papa. Sekali lagi kurengkuh tubuh besarnya, mengistirahatkan pikiran. Lalu tertidur nyaman dipelukan papa. Aku masih merasakan usapan lembut dikening.
"Papa tunggu nanti malam di courtyard sama mas yang lain"
"Iya pa"
YOU ARE READING
Did You Know That ...
Teen FictionKesal, marah, benci, kecewa, bahagia, sedih, takut, jijik. Seberapa banyak emosi yang dapat dirasakan manusia? Paul Ekman, seorang psikologis, mengelompokkannya dalam 6 emosi utama yang akan berkembang melalui menggabungan suatu emosi dengan emosi...