Bab 9 ; Kecewa

1 0 0
                                    

Kelas disini terasa lebih ramai. Beberapa sibuk bercengkrama, yang lain sibuk menyelesaikan kewajiban masing-masing. Sampai saat ini belum kutemukan teman. Hanya berkenalan pada beberapa.

"Hai, eum, Ruell? Aku Saskia. Panggil Kia aja"

"Oh, hai Kia!"

"Eh sorry ya kalau kesanya sksd banget. Aku emang niat kenalan doang kok"

Saskia. Teman perempuan pertama yang menyapaku dahulu. Orangnya sedikit kikuk, justru itu pesonanya. Aku tahi dia mudah bergaul. Dalam 5 menit saja, kami sudah berteman. Separuh cerita hidupnya juga sudah kuketahui.

"Oiya, tahu kan murid baru kelas 12? Beritanya udah sampe kelas 1 tahu. Ya, emang ganteng sih macho juga. Namanya juga bagus, Agav Ridleyi. Nggak pasaran. Anyway, dia cocok deh sama kamu. Suwer," ujar Kia sambil mengacungkan kedua jarinya membentuk simbol damai. Entusias.

"Ahahaha, Mas Agav itu kakak aku. Kayaknya dia cocok sama kamu, Kia. Mas Agav tu orangnya irit ngomong, gengsinya tinggi jadi butuh penetralisir kayak kamu"

Pipinya semerah tomat. Jelas sekali Kia jadi salah tingkah. Mungkin dia merasakan cinta.

Hari pertama dilalui dengan bahagia tanpa hambatan. Pulang sekolah, Mas Agav segera meluncurkan mobil menuju psikolog. Papa membuat janji temu 2 kali seminggu. Kesehatan mental yang utama, tuturnya.

"Mas tunggu di depan"

"Nanti lama"

"Papa yang minta. Mas Agav juga lagi kosong"

Aku menurut. Sebelum memasuki ruang konsultasi, aku mengisi beberapa formulir. Dokter dengan rambut sepunggung sudah menunggu di dalam. Senyumnya ramah, matanya berbinar. Sungguh cantik. Kacamata bulatnya membuat parasnya makin mempesona.

"Halo, gimana nih saya panggilnya? Wrigtia?"

"Tia aja, dok"

"Oke, Tia. Panggil saya kakak saja. Disini kakak akan dengerin semua keluh kesah kamu. Oke?"

Sesi konsultasi dimulai. Kuceritakan awal mula seluruh kejadian ini. Hingga tak sadar beberapa bulir air mata menetes. "Maaf ya kak"

"Nggak papa, nangis aja. Biarkan semua emosi kamu meluap"

Akhirnya curhat hari ini selesai. Dokter Rena benar baiknya. Beliau mendengarkanku dari awal hingga seluruh wajahku sudah pucat pasi. Bukan tanpa alasan, energiku memang sudah habis setelah sesi pertama tadi.

Di depan, Mas Agav sudah hilang dari pandanganku. Mobilnya juga sudah tidak ada. Seperempat jam sudah kutunggu. Sudah kupanggil berkali-kali lewat telefon pribadinya. Berdering tanpa terjawab. Panik karena matahari sudah hampir sirna, kuputuskan untuk pulang sendiri. Masih saja Mas Agav ingkar.

Bus umum hanya bisa menjangkau hingga kurang lebih 1 km sebelum sampai ke rumah. Selebihnya harus kuusahakan sendiri dengan berjalan kaki. Di tengah perjalanan, dua bayangan besar mengikutiku. Masih di arah yang sama, dua orang itu membututiku. Dari celetukanya, kutahu bahwa mereka adalah sosok laki-laki. Aku merasakan takut. Cemas tengah menguasai perasaanku. Tanganku mulai berkeringat hingga harus kuseka sekali dua kali. Kurasakan detak jantung yang mirip genderang perang. Aku berlari secepat mungkin untuk sampai dirumah. Karena menyandung polisi tidur, tubuhku jatuh ke aspal. Lecet disana sini pun kaki terkilir. Sambil sedikit terisak, masih kupaksakan untuk memindahkan langkah demi langkah kaki. Dua laki-laki tadi masih mengekoriku hingga aku berbelok menuju teras rumah. Ku ketuk pintu rumah sekencang mungkin sambil berharap cemas. Papa keluar sepersekian detik. Lega. Aku meninggungkan badan. Masih menangis.

"Adek, adek, ada apa? Kemana Mas Agav? Sayang? Kenapa?"

"Papa tolongin Tia, tolong, tolong"

"Sayang, tenang dulu. Cerita sama papa, ada apa, sayang?"

Satu mobil masuk ke halaman dengan nyala lampu sen yang terang. Mas Agav keluar dengan mimik muka khawatir. Mas Agav sesegera mungkin mendekatiku. Mendekap raga adiknya. Kembali kurasakan kasih sayang Mas Agav dalam kurun waktu yang sangat panjang.

"Maaf, adek. Maaf. Maafin Mas Agav, ya?"

"Darimana kamu?" Papa menyelak dengan nada kemarahan.

"Pa, maaf, pa. Agav tadi futsal sama temen"

"Berani kamu ninggalin adek sendirian?"

"Ini emang salah Agav, tapi Agav nggak ada niatan ninggalin si adek. Agav berani sumpah"

"Simpan sumpah kamu buat kamu sendiri. Mas Agav, papa kecewa"

Did You Know That ...Where stories live. Discover now