SAKIT

43 23 4
                                        


Tandai bila ada typo

***

Seperti hari-hari sebelumnya, meja diruangan nya tampak penuh dengan makanan dan minuman. Banyak juga surat yang tercantum di dalam nya, bekal-bekal ini tak lain dan tak bukan adalah pemberian dari mahasiswi-mahasiswi yang berupaya mencari perhatian Rizki.

Maklum, siapa yang tidak jatuh pada pesona dosen muda tampan, kaya raya, cool, tubuh atletis, serta penyampaian nya ketika mengajar yang sangat mudah di pahami ini?

Ia cukup merasa risih dengan semua ini, bukan karena tidak bersyukur banyak yang menaruh perhatian dengan nya. Hey, tapi siapa yang tidak risih kalau ini terjadi di setiap harinya?

Apa mereka tidak lelah? Padahal usaha mereka tidak berpengaruh apapun untuk Rizki, hatinya sudah berlabuh pada gadis yang mempunyai dua lesung pipi dan dua mata coklat yang indah itu.

Karena terlalu banyak makanan yang datang ke meja di tiap harinya, Rizki selalu membagikan itu pada dosen yang lain, atau pada petugas-petugas kebersihan kampus.

Ia menghela nafas pelan, merapihkan semuanya, lalu memasukkan nya kedalam tote bag besar. Menyisakan satu kotak bekal berisi nasi goreng yang sudah dicampur sosis dan beberapa sayuran, tidak lupa ada telur mata sapi di atasnya. Juga sebotol air mineral berukuran sedang.

Ia keluar sebentar dari ruangan nya, "Pak Boy!"

Pria dengan nama 'Boy' yang sedang mengepel lorong ruang dosen pun menolehkan kepalanya, ia segera menghampiri Rizki.

"Manggil saya toh, pak? Kirain saya dikatain pakboy sama pak Rizki."

Rizki terkekeh kecil, "Ada-ada aja, pak. Ini sarapan buat bapak, boleh dibagikan juga untuk yang lain kalau belum pada makan."

Rizki menjulurkan satu tote bag besar yang sudah terisi penuh oleh berbagai macam masakan, ada cemilan ringan lainnya juga. Tak lupa beberapa minuman, dari air mineral, kopi, dan juga minuman kaleng.

"Ya Gusti, pak. Ini kan makanan-makanan yang tadi saya dan Udin antarkan ke meja bapak."

Rizki sedikit menyunggingkan senyuman nya, "Iya pak, saya tau. Lain kali gak usah di terima ya, pak, suruhan mereka. Pak Boy gak usah hirauin mereka, saya minta tolong, pak."

"T-tapi gimana, pak, mahasiswi-mahasiswi itu banyak banget dan berisik. Mau gak mau saya dan Udin mengantarkan ke meja pak Rizki, maaf ya pak, kalau itu membuat pak Rizki risih."

Rizki menghembuskan nafasnya panjang, tak habis pikir banyak mahasiswi yang haus akan perhatiannya.

"Gak apa apa, pak, saya ngerti. Tapi kalau bisa, ini jadi hari terakhir pak Boy meladeni suruhan mereka ya, pak. Sebenarnya tidak baik juga mereka asal menyuruh pak Boy atau pak Udin, karena perbedaan umur mereka dengan kalian terlampau jauh, dan itu sangat tidak beretika, pak."

"Baik, pak, besok-besok saya dan Udin nggak akan mau disuruh antar bingkisan ke meja pak Rizki sama mereka." Pak Boy membentuk gerakan hormat, lalu mereka tertawa bersama.

"Ya sudah, pak, saya masuk ke ruangan lagi, ya. Selamat sarapan, pak." Ujar Rizki.

Pak Boy mengangguk sekali, "Terima kasih banyak pak Rizki, semangat mengajar!"

Rizki tersenyum, setelah pak Boy hilang dari pandangan nya, pria itu kembali masuk ke dalam ruangan.

Wangi vanilla menyerbak masuk melewati rongga hidungnya, ia memang sangat menyukai hal-hal berbau vanilla.

Rizki duduk di mejanya, ia melirik ke arah satu kotak bekal berwarna hijau muda di depannya. Tadi, ia asal memilih saja. Toh, tidak mungkin kan ia memakan semua nya dalam satu waktu? Jadi, ia hanya mengambil satu dari sekian banyaknya bekal makanan.

Zahra: Te amo, my LecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang