Sinar matahari pagi yang lembut menyelinap melalui celah-celah tirai tebal di kamar luas milik Putra Mahkota. Ranjang dengan sprei sutra yang halus terasa asing di bawah tubuh kecil Ezekiel. Ia perlahan membuka matanya yang lelah, bertemu dengan kanopi mewah di atas tempat tidur. Tubuhnya terasa berat, setiap otot seperti berteriak akibat rasa sakit yang tertinggal dari siksaan beberapa hari lalu. Namun, udara hangat dan aroma mawar lembut yang memenuhi ruangan memberikan sedikit kenyamanan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Ezekiel mencoba mengingat apa yang terjadi. Potongan-potongan memori yang kabur mulai kembali: serangan dari pelayan yang kejam, rasa sakit yang luar biasa, dan akhirnya sosok tinggi dengan rambut pirang keemasan yang melangkah ke arahnya seperti seorang malaikat penjaga. Azrael.
Ia mencoba bangkit, namun rasa pening segera menyerangnya, memaksanya kembali berbaring. Wajahnya berkerut, tetapi pikirannya tetap bekerja. Ada sesuatu yang aneh. Azrael tidak seharusnya berada di sini.
Dalam alur cerita novel The Thorned Empire, Azrael Calanthe Putra Mahkota Kekaisaran Calanthe seharusnya berada di medan perang, tempat ia dikirim pada usia tiga belas tahun untuk membangun reputasinya sebagai Swordmaster . Dalam cerita, ia tidak akan kembali ke istana dua tahun lagi. Lebih aneh lagi, Azrael seharusnya tidak peduli dengan Ezekiel, sama seperti anggota keluarga kekaisaran lainnya.
"Kenapa dia menyelamatkanku?" gumam Ezekiel, suaranya hampir tak terdengar.
Sebelum ia bisa merenungkan lebih jauh, suara langkah pelayan yang mendekat mengalihkan perhatiannya. Pintu besar terbuka, dan seorang pelayan wanita masuk membawa nampan berisi semangkuk sup hangat dan roti segar.
"Yang Mulia Pangeran Pertama memerintahkan agar Anda makan dan beristirahat," katanya lembut, meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur.
Ezekiel memandang pelayan itu dengan tatapan bingung. "Cekalang di mana Yang Mulia Pangelan Peltama?" tanyanya dengan suara lemah.
"Yang Mulia sedang berada di ruang makan bersama anggota keluarga kekaisran lainnya, Yang Mulia," jawab pelayan itu sambil membungkuk hormat sebelum meninggalkan kamar.
Ruang makan? Kekhawatiran dan rasa ingin tahu menyeruak dalam hati Ezekiel. Dalam novel, Azrael tidak pernah menghadiri perjamuan keluarga kecualisaat ada acara formal. Hal ini semakin mengukuhkan bahwa sesuatu di dunia ini telah menyimpang dari alur cerita asli.
----------------------------------------------------------------------------
Ruang makan utama adalah tempat megah, dengan dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan besar para leluhur kekaisaran. Meja panjang dari kayu mahoni yang mengilap berdiri di tengah ruangan, cukup besar untuk menampung dua puluh orang, meskipun hanya lima orang yang duduk pagi itu.
Di kepala meja duduk Kaisar Darius Calanthe, rambut pirang keemasannya, tetapi mata birunya setajam elang. Di sisinya ada Zaiden, Pangeran Kedua yang berusia empat belas tahun, dengan ekspresi tenang.
Di sebelah kanan Kaisar, Raphael, Pangeran Ketiga yang berusia dua belas tahun, memamerkan keangkuhannya dengan senyum sinis. Sementara itu, di ujung meja yang lain, Eldritch, saudara kembar Ezekiel, duduk sendirian. Mata ungu lilac-nya menatap piring kosong di depannya, ekspresinya tak terbaca.
Namun, kehadiran Azrael mendominasi ruangan. Putra Mahkota itu duduk dengan tenang, tetapi auranya tidak bisa diabaikan. Wibawa seorang pemimpin perang muda terpancar dari matanya yang tajam, setiap gerakannya penuh perhitungan.
Kaisar berbicara, suaranya penuh otoritas. "Kehadiranmu di istana adalah kejutan, Azrael. Apakah perang telah berakhir?"
Azrael meletakkan cawannya dengan tenang. "Belum, Yang Mulia. Saya kembali karena mendengar ada hal yang membutuhkan perhatian saya di istana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ezekiel: A Changed Destiny
FantasyHael, seorang pemuda yang hidup dengan penyakit yang tak bisa disembuhkan, akhirnya meninggal di usia 17 tahun. Namun, bukannya pergi ke alam baka, ia terbangun dalam tubuh Ezekiel Calanthe, seorang tokoh figuran dalam novel yang berakhir tragis. De...