Di sebuah kamar rumah sakit yang sunyi, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun bernama Hael terbaring lemah di atas ranjangnya. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat, dan matanya yang biasanya cerah dan penuh semangat kini tampak sayu, seolah hidup telah lama beranjak dari sana. Rambut hitam legamnya tergerai di atas bantal, dan mata biru lautnya yang dulu menyimpan banyak mimpi kini terhalang kabut kesedihan yang mendalam. Hael telah lama menderita penyakit yang membuatnya lebih mengenal bau obat dan dinginnya dinding putih rumah sakit daripada cahaya matahari atau suara tawa.
Tak ada yang pernah menemaninya. Kedua orangtuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, saudara-saudaranya bahkan tak pernah menanyakan kabarnya. Hael terbiasa hidup dalam sepi, tenggelam di dalam kesendirian yang pekat dan dingin. Pada ulang tahunnya yang ketujuh belas, tak ada ucapan selamat, tak ada kue, hanya suara mesin yang memantau detak jantungnya yang semakin melemah.
Satu-satunya penghiburannya adalah sebuah novel berjudul 'The Thorned Empire', yang diberikan oleh seorang perawat baik hati. Kisah dalam buku itu adalah tentang seorang pangeran muda bernama Ezekiel, yang dijatuhi hukuman mati oleh kerajaannya sendiri. Malam itu, Hael terbaring dengan buku itu terbuka di tangannya, jari-jarinya yang pucat memegang erat sampulnya.
Hael melanjutkan bacaan dengan mata birunya yang tetap terpaku pada halaman-halaman yang kelam itu, hatinya penuh dengan amarah. "Kaisar keparat," gumamnya dengan suara serak, "ayah macam apa yang bisa menghukum mati anaknya sendiri?" Di setiap kata yang terbaca, kebenciannya terhadap sang Kaisar dan orang-orang yang menuduh Ezekiel semakin menggebu-gebu. Ia merasa Ezekiel seperti dirinya—seseorang yang ditinggalkan, yang dilupakan.
"Kalian semua buta!" umpatnya pelan, nadanya begitu bersemangat walau hanya bergumam. "Tidak ada yang tahu, kan, betapa besar luka yang ditinggalkan oleh semua pengkhianatan ini... Mereka semua hanya—" kata-katanya terhenti ketika rasa sakit menjalari tubuhnya. Tetapi dengan tekad yang sama kuatnya, Hael terus membaca, ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya pada Ezekiel, berharap masih ada keadilan atau setidaknya sedikit harapan untuknya.
Namun, ketika Hael sampai pada bagian akhir buku, di mana Ezekiel benar-benar menghembuskan napas terakhirnya di depan rakyat yang mencercanya, ia merasakan kekosongan yang menusuk. Matanya mengabur, air mata mulai menggenang tanpa ia sadari.
"Sialan... orang-orang bodoh!" bisiknya dengan suara yang hampir tenggelam. Ia ingin melemparkan buku itu, ingin menghapus akhir yang terlalu pahit itu. Ia merasa Ezekiel layak untuk hidup, untuk memiliki kesempatan memperjuangkan hidupnya sendiri.
Dengan napas yang kian lemah, Hael memejamkan mata, memeluk buku itu di dadanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa telah menemukan sosok yang benar-benar mengerti dirinya, walaupun hanya dalam lembar-lembar fiksi. Ia menggenggam halaman terakhir'The Thorned Empire' erat-erat, menyimpan perasaan penuh kasih untuk pangeran yang tidak pernah dikenalnya, seolah menjadikannya sahabat terakhir di dunia ini.
Di tengah sunyi, napas Hael perlahan-lahan melemah, irama detak jantungnya yang sebelumnya terpantau mesin semakin meredup. Hingga akhirnya, detak itu berhenti sepenuhnya. Kamar yang sunyi kini dipenuhi oleh suara yang melengking panjang, sebuah suara penanda akhir yang menggema dalam keheningan ruangan.
Di ranjang rumah sakit yang dingin itu, Hael telah pergi, dan hanya tersisa keheningan abadi, bersama bayang-bayang seorang pangeran yang akan selalu hidup dalam kenangannya, satu-satunya teman sejati dalam kesendiriannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ezekiel: A Changed Destiny
FantasyHael, seorang pemuda yang hidup dengan penyakit yang tak bisa disembuhkan, akhirnya meninggal di usia 17 tahun. Namun, bukannya pergi ke alam baka, ia terbangun dalam tubuh Ezekiel Calanthe, seorang tokoh figuran dalam novel yang berakhir tragis. De...