#2

5 0 0
                                    

Jam empat subuh kami berangkat. Setelah mengisi bahan bakar mobil dan bahan bakar tubuh, kami menuju Pantai Ule Lheue. Aku masih memakai baju tidur dan jilbab instan. Wajah saja masih belum memakai riasan apapun. Percayalah, hanya Jaki yang sudah berpenampilan siap di mobil ini. Ia memakai celana pendek selutut dan kemeja panjang warna biru malam serta kaos warna putih di dalamnya. Gaya rambutnya mengikuti perkembangan gaya rambut sekarang. Tidak heran. Adik kecil di sampingku ini pasti ingin terlihat tampan di mata teman lama Rara alias aku. Padahal tanpa berusaha pun dirinya memang tampan. Hanya dia laki-laki di mobil ini, tidak ada saingan siapapun.

Semuanya masih diam subuh ini. Tidak ada yang ingin memulai percakapan. Hening sekali. Bifa kembali tidur, disusul oleh Aufa. Rara memainkan ponselnya. Aku melihat keluar jendela, jalanan Aceh di subuh hari. Masih tidak menyangka bisa berangkat ke Aceh tanpa mengeluarkan biaya apapun. Aku melihat ada beberapa motor berkendara berdampingan.

“Kayaknya mereka mau ke pantai juga, tuh.” Jaki akhirnya bersuara. Sebentar lagi kami tiba di pantai. Aku hanya mengangguk pertanda bahwa aku mendengarkannya.

“Kalo di sini nyebut motor tu kereta, kan?” Tanyaku memastikan. Kali ini gantian Jaki yang mengangguk.

Aku teringat aku dan beberapa teman kost underground juga sempat ke pantai kala itu. Kami menyewa motor untuk pergi ke pantai yang ternyata harus menempuh perjalanan tiga jam. Keputusan Eca untuk membawa teman laki-laki kala itu memang keputusan yang bijaksana. Sampai sekarang aku masih bersyukur mereka mau mengikuti keinginanku. Walaupun banyak sekali yang tidak sesuai rencana. Terutama menyangkut kesehatan Rara. Itu juga yang menjadi pertimbanganku kali ini untuk memakai mobil. Rara alergi dingin. Ia juga punya riwayat asma. Tapi Rara selalu berusaha kuat dan tidak ingin merepotkan siapapun. Padahal terlihat lemah sesekali sebenarnya tidak apa-apa. Justru lebih manusiawi. Saat pulang dari pantai dengan kondisi setelah hujan, wajah Rara pucat sekali. Ilham, teman laki-laki yang membawa motor bersamanya memilih singgah sebentar. Kami khawatir. Eca memastikan berkali-kali Rara kuat. Berbagai cara dan berbagai saran diberikan agar Rara merasa lebih baik. Kala itu, Rara justru menangis. Merasa bersalah karena sakit di saat yang tidak tepat. Masing-masing dari kami menghiburnya. Semua orang lelah, jadi wajar saja jika ada yang sakit. Aku menjauh, memerhatikan dari kejauhan. Jika ada yang pantas disalahkan, mungkin itu aku. Aku tidak memeriksa kondisi jalan serta perkiraan waktu dan warung makan terdekat. Aku kurang persiapan. Namun, berkali-kali meyakinkan diri bahwa nantinya ini akan menjadi pengalaman berharga.

Masa lalu adalah guru terbaik. Untuk masa sekarang, aku menyiapkan segalanya dengan benar. Memilih mobil untuk berkendara, membawa banyak cemilan dan minuman, membawa termos milik Rara untuk air hangat, membawa tiga baju ganti, membawa selimut dan memastikan seluruh penumpang membawa obat-obatan khusus mereka.

Kami tiba di Pantai Ule Lheue tepat ketika matahari mulai terbit. Aku bergegas mengambil kamera dan memotret. Masih dengan baju tidur dan tanpa riasan sama sekali. Sementara Bifa, Aufa dan Rara berganti baju, aku meminta Jaki memotretku dari belakang. Setelah matahari benar-benar terbit, aku kembali ke mobil. Kali ini gantian aku yang siap-siap.

Kami duduk di hadapan laut. Belum ada kafe yang buka. Dermaga juga belum beroperasional. Suara angin pantai, bau laut, pemandangan yang indah. Tenang. Aku selalu suka pantai. Pantai adalah tempat indah sekaligus berbahaya. Kita boleh memandanginya sepuasnya, tapi kita juga harus hati-hati ketika berada di sana. Antara daratan dan lautan. Kita harus tahu kapan harus menjaga jarak dengan lautan. Harus tahu bahwa lautan yang menyimpan banyak kekayaan di bawahnya itu, juga menyimpan hal berbahaya, menenggelamkan seseorang dengan berani. Ada seseorang yang begitu menyukai laut, tetapi juga ada yang begitu takut padanya. Bahkan ada juga yang membenci lautan. Semua perasaan itu tergantung dari bagaimana sudut pandang mereka. Aku menyukainya karena aku begitu takut padanya. Lucu bukan?

“Mau diam-diaman sampai kapan ini?” Jaki memecah keheningan lagi.

“Kak Dai, ayo naik perahu!” Ajak Bifa. Aku tersenyum, akhirnya ia berinisiatif.

“Ayo lah!” Aku bersemangat, berdiri paling pertama.

Aku, Rara, Bifa, Aufa dan Jaki berjalan menuju dermaga. Menyewa perahu. Dibawa berkeliling selama satu jam. Tidak lupa mengabadikan foto dan video. Dalam hati juga berkali-kali berterimakasih pada Tuhan. Berjanji akan hidup lebih baik.
___

Aku ingat Pantai Malang kala itu. Kami pergi sampai ke tengah laut. Kala itu sedang surut, jadi kami berani ke tengah. Airnya dangkal. Walaupun begitu, hanya dua laki-laki yang berani benar-benar sampai ke tengah. Kami berhenti di batu-batu, melihat tumbuhan laut dan binatang laut serta berfoto-foto. Satu hal yang terpikirkan saat itu adalah aku bersyukur setiap orang menikmati alamnya. Aku memastikan satu persatu dari mereka menyukai rencana itu. Walaupun sangat di luar rencana dan kendali. Semoga kenangan itu menjadi kenangan indah yang tidak disesali.

“Kak? Kita belum ada foto berdua loh!” Ucap Rara menyadarkanku dari lamunan.

“Benar juga. Kali ini kita harus foto sampai mampus. Waktu di Malang, kita nggak pernah berfoto berdua. Nyesal sumpah!” Aku merangkul kuat Rara. Kali ini tidak boleh lagi ada penyesalan.

Setelah puas berfoto, kami mengobrol lebih banyak. Tentang Jaki, tentang Rara, tentang Aufa, tentang Bifa dan tentang aku. Sesekali membuat lelucon. Aku banyak tertawa. Sampai turun dari perahu pun aku masih belum berhenti tertawa.

“Ayo makan bekal yang dibuat oleh Chef Daila dan Co-Chef Rara!” Ucapku semangat.

“Kita nggak bakal sakit perut, kan Ra?” Jaki berkomentar. Rara segera mencekik lehernya. Enak saja mengatai masakanku dan Rara.

Jaki mengeluarkan karpet, sedangkan kami membawa perbekalan kami. Kuakui, aku belum bisa memasak. Rara juga. Bifa dan Aufa juga tidak mungkin dibangunkan subuh-subuh. Jadi, aku dan Rara kerja sama masak telor ceplok, merebus wortel dan sayur hijau, serta nasi. Sebenarnya lebih praktis jika membeli makanan di sini. Namun, karena kami terlalu pagi, aku ragu ada warung yang sudah buka. Tenang. Tidak akan ada keasinan atau masakan yang belum matang. Rencananya kami akan makan bibimbap untuk sarapan. Saat mengisi bahan bakar mobil subuh tadi, kami sempat mampir ke minimarket. Aku membeli rumput laut, sosis, dan saus gochujang, serta keju sebagai opsi tambahan.

Kami makan sambil mengobrol di pinggir pantai. Jaki sangat lucu. Belum lagi jika berdebat dengan Bifa. Rara dan aku banyak tertawa. Sedangkan Aufa seperti wasit yang menengahi mereka. Senang sekali bisa cepat akrab dengan mereka. Setelah tiga puluh menit selesai makan, kami bermain air. Hanya aku yang sepenuhnya basah. Aku datang dari jauh. Setidaknya harus merasakan air laut Aceh.

Jam sepuluh pagi, kami berkemas. Melanjutkan pergi ke Lampu'uk sebelum hari semakin panas. Perlu waktu setengah jam untuk pergi ke sana. Sampai di Lampu’uk, aku berganti baju lagi. Hari di luar sepertinya mendukung liburanku. Tidak terlalu panas. Tidak juga mendung. Tepat untuk bermain voli. Setelah shalat  dan cukup puas berfoto serta tidak melupakan foto bersama Rara, kami bergabung dengan anak-anak yang kebetulan juga sedang bermain voli.

Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat. Azan ashar dari ponsel Jaki memberikan pertanda kami harus berhenti. Kami berlima kompetitif dalam permainan. Kami jadi bersaing dengan serius. Anak-anak juga seru sekali diajak kerja sama. Rasanya seperti kembali berada di umur mereka. Saling menyoraki, saling adu mulut tanpa merasa bersalah. Tanpa takut mendapat nilai kinerja yang buruk. Tidak ada yang lebih senior atau junior. Tidak ada yang harus punya tata krama. Bermain bebas. Hanya ada perkelahian yang besok-besok juga akan berbaikan.

“Masih kuat nyetir, nggak? Kalau nggak kuat, tidur aja dulu di sini.” Ucapku ketika kami baru selesai shalat.

“Aman, Kak. Masih sanggup jalan, kok. Kalau cape pun, masih bisa hibernasi besok.” Jawab Jaki mantap. Aku tersenyum.

“Rara aman?” Tanyaku memastikan Rara baik-baik saja.

“Aman, Kak.” Jawab Rara. Aku sedikit khawatir mereka memaksakan sehat karena ingin memaksimalkan liburanku.

“Kalau kalian cape, bilang, ya! Kita langsung pulang.” Ucapku pada mereka berempat. Mereka mengangguk. Aku tersenyum senang.

Kami sampai ke Pantai Lhok Nge dalam waktu dua jam karena harus singgah dulu untuk makan siang di Rumah Makan pinggir jalan. Aku memesan kuah belangong dan ikan tumis Aceh, dua makanan khas Aceh. Makanan yang sangat berat sebenarnya. Saat di pantai nanti aku harus banyak berjalan untuk menurunkan kalori. Ketiga penumpang di belakang tertidur ketika perjalanan berlanjut. Sedangkan aku mengajak Jaki mengobrol. Obrolan dewasa. Tentang dunia kerja. Sedikit petuah untuk dirinya. Ia juga sedikit memberi petuah tentang pasangan.

Setelah berganti baju lagi, aku berjalan-jalan di pinggir pantai. Sambil mendengarkan lagu. Mencari inspirasi menulis. Satu jam kemudian kembali menghampiri empat adik yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Jaki bermain dengan ponselnya. Aufa dan Rara rebahan. Bifa memotret lautan. Matahari hampir tenggelam. Aku berlari mendatangi Bifa. Memintanya berfoto bersama.

“Ikut, Kak Dai!” Teriak Rara dan Aufa bersamaan. Mereka berlari, tidak ingin tertinggal momen foto bersama.

“Ini kita nggak jadi lihat matahari terbenam di Lambada?” Tanya Jaki mengingatkan ketika matahari hampir terbenam.

“Jadi!” Ketiga perempuan itu teriak bersamaan. Aku yang berada di samping mereka terkejut bukan main. Mereka tertawa melihat reaksiku.
___

Indah. Satu kata yang hanya bisa terpikirkan saat itu. Langit ungu. Alam tidak pernah gagal menghibur. Tuhan menciptakan keindahan sederhana ini, tetapi manusia terlalu sibuk dengan ponsel dan gaya hidupnya. Aku tidak tahu harus menyebut ini apa. Lambada Lhok katanya. Semacam teluk. Entahlah. Yang jelas ada air, ada matahari terbenam, ada banyak burung berterbangan pulang.

Kami makan es krim. Kembali tidak bersuara. Aku jadi teringat ketika menghabiskan waktu dengan melihat matahari terbenam bersama Andi Ayu dan Anggie saat di Malang kala itu. Aku sebenarnya tidak terlalu suka pada matahari terbenam. Tetapi Malang justru membuatku candu untuk melihat matahari terbenam. Aku ingat sering sekali mengajak teman-teman kos jalan sore setiap kali ada waktu luang. Anggie dan Andi Ayu yang paling sering ikut. Setelah kami jajan, kami akan duduk di samping gedung kemahasiswaan, menatap matahari yang mulai terbenam. Bercerita tentang apa saja. Andi Ayu yang selalu memberikan waktunya, menemani dengan jajanan. Entah nanti bakso, entah pentol bakar, entah es krim, apapun itu. Ketika mereka sibuk, aku bahkan bisa pergi sendirian. Matahari terbenam di Malang memang membuat candu. Dan rindu.

“Balik yo! Shalat maghrib di rumah aja.” Bifa memecahkan keheningan. Aku sudah cukup banyak mengambil foto. Jadi mari pulang.

Sampai rumah, semuanya ribut. Menentukan siapa yang mandi terlebih dahulu, siapa yang shalat, siapa yang membersihkan dapur. Lima orang dalam rumah serasa seperti dua puluh orang di dalamnya. Hanya Jaki yang duduk diam di ruang tamu. Menunggu dipinjami sajadah untuk shalat.

“Kak Dai nggak apa-apa kah sama Jaki aja?” Tanya Rara memastikan, takut aku canggung jika harus berdua Jaki.

“Jaki, kamu nggak makan manusia, kan?” Aku bertanya pada Jaki dengan nada bercanda. Tidak ingin Rara khawatir jika kami berdua.

“Kak Dai! Maksud Rara tu, kan harusnya Rara yang nemanin Kak Dai belanja. Sebagai adek yang baik, masa Rara nggak nemanin Kak Dai?” Ucap Rara kecewa saat aku memintanya istirahat.

“Rara istirahat aja. Besok subuh kita berangkat lagi loh ke Aceh Timur. Simpan energi buat besok. Kasih kesempatan aku berdua sama Jaki. Siapa tau bisa berlanjut. ” Aku membujuk Rara untuk kesekian kalinya, diselingi candaan sedikit berbisik di akhir kalimat. Rara tertawa mendengarnya. Ia akhirnya mengalah. Membolehkanku pergi hanya dengan Jaki. Aku memilih Jaki karena tahu besok dia akan tidur seharian. Sedangkan Aufa dan Bifa, dari saat di Pantai terakhir saja aku tahu mereka lelah.

Rara adalah perempuan yang kuat. Tubuhnya gampang sakit, tetapi dia tidak pernah mau merepotkan teman-temannya sehingga selalu berusaha sendiri. Mungkin karena memang terbiasa mandiri. Aku ingat kejadian di kost lama ketika ia harusnya dirawat inap tetapi memilih untuk pulang. Sebelum dibawa ke rumah sakit, ia dan teman-teman kelasnya memang jalan-jalan ke berbagai tempat. Saat itu dosen juga ikut membersamai. Rara dan Anggie sama-sama sakit. Namun, Rara pulang lebih dulu diantar teman sekelasnya. Aku turun ke bawah, memastikan dia benar-benar sehat. Bagaimanapun, kami tidak bisa memaksa jika ia sendiri tidak ingin dirawat. Alasannya takut jarum suntik. Entah benar atau hanya ingin mengeluarkan alasan konyol yang meringankan hati kakak-kakaknya. Ia salah satu adik termuda di antara kami, tetapi ia menjadi anak pertama di keluarganya.

“Kak, kita sudah sampai.” Jaki menyentuh bahuku dengan telunjuknya. Aku tertidur di mobil. Seharian memang aku tidak tidur karena menemani Jaki. Menjadi teman mengobrolnya.

Aku meminta di antar ke Banda Aceh. Museum Tsunami Aceh memang sudah tutup. Setidaknya aku bisa sekali lagi melihat gedungnya dari jalan. Aku juga ingin merasakan shalat isya di Masjid Baiturrahman nanti.

Kata Rara, souvenir kecil yang bisa dibeli ada bros pinto Aceh dan kain tenun ikat kepala khas gayo. Untuk oleh-oleh, aku memakai uang tabungan pribadi. Kecuali yang akan dikirim kepada Professor nantinya. Hampir satu jam aku berkeliling toko, memperhatikan orang-orang belanja. Memperhatikan satu persatu harga setiap barang. Memanjakan mata. Setelah membayar, sesuai rute, kami pergi ke Masjid Baiturrahman. Pulangnya, kami mampir membeli Mie Aceh untuk makan malam dan membeli Roti Samhani untuk dibawa besok sebagai oleh-oleh untuk Anggie.
___

“Ra, kamu nyangka nggak sih kalau kita bakal ketemu lagi?” Tanyaku sambil melihat langit-langit kamar. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Jam dua besok kami harus berangkat lagi menuju Aceh Timur.

“Nggak nyangka, Kak. Apalagi Kakak dari Kalimantan. Jauh banget weh ke sini.” Jawab Rara.

“Kamu nyangka nggak hubungan anak kost underground bisa seawet ini? Padahal yang cinlok aja nggak bertahan lama.” Tanyaku lagi, kali ini sambil tertawa mengingat banyaknya mahasiswa yang terlibat cinta lokasi kala itu.

“Kalo itu, Rara doa sih Kak tiap hari. Supaya keluarga yang nggak sedarah ini bisa awet sampai semuanya nikah. Sampai kita punya anak, terus anak kita ikut pertukaran mahasiswa juga, deh.” Jawab Rara sedikit melantur.

“Salah satu kenangan yang selalu aku syukurin banget ya ketemu kalian di kost itu sih.  Kostnya mungkin buruk. Tapi dari kost itu kita bisa bareng terus sampai pindah ke kost baru pun barengan.” Ucapku tersenyum.

“Rara juga. Rara ingat kata-kata Kak Eca. Kak Eca mau kalau dia pindah, dia angkut kita semua. Kata Kak Eca dia nggak mau ninggalin kita dan biarin kita pisah-pisah. Kalau bukan karena tekad Kak Eca, satu persatu dari kita pasti sudah pindah masing-masing.” Rara ikut bersyukur.

“Anggie juga bantu nemuin Kost yang lumayan bagus. Kost yang rasanya bukan kayak kost tapi rumah dengan banyak kamar. Nggak ada peraturan mengikat. Nggak ada yang namanya pemilik kost pelit. Minusnya mungkin emang masalah kebersihan, sih. Tapi aku juga nggak bisa bayangin kalau kita pindah bukan ke kost itu, kayaknya yah nggak ada pemilik kost yang tahan dengan kelakuan kita.” Ucapku menahan tawa.

“Iya lagi. Setiap pagi Tari putar lagu Jawa, kalau nggak Kak Dai yang putar lagu, kalau nggak, Kak Andi Ayu yang putar lagu. Belum lagi Kak Eca teriak-teriak marah karena dapur berantakan atau rak sepatu berantakan. Belum lagi klub begadang yang tiap malam ribut. Satu-satunya yang kalem cuman Kak Ayu Wulan.” Jawab Rara.

“Kadang juga tantrum ketawanya.” Aku mengingatkan. Kami tertawa bersama.

“Eh sebentar, siapa yang namain kost kita jadi kost underground?” Tanyaku baru menyadari sesuatu.

“Iya, ya? Siapa, ya? Rara baru sadar juga. Awalnya namanya bukan Kost Underground, kan, ya?” Rara juga sama bingungnya.

“Ah sudahlah. Nanti kutanya Anggie aja. Kali aja dia tau.” Jawabku. Menyampingkan tubuhku ke arah kanan. Mulai memejamkan mata. Kira-kira sepuluh menit, aku tidak mendengar lagi suara Aufa dan Bifa yang menonton film di luar.

Esok, hari baru akan dimulai. Esok, petualangan baru sudah menanti. Esok, kota baru akan menyalami. Esok, semoga tubuh ini masih sehat untuk bisa menjelajahi. Medan, Kota Melayu Deli.


_KOST UNDERGROUND_



Kost UndergroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang