#4

4 0 0
                                    

Pagi ini hujan turun deras. Aku memilih tidur lagi setelah shalat subuh. Entah bagaimana caranya, aku sudah berada di atas kasur. Mungkin karena terlalu lelah, aku sampai tidak sadar berjalan dari mobil ke kamar Anggie.

“Anggie, Daila! Sarapan sini!” Teriakan Ibu Anggie terdengar di telingaku yang jarang sekali bisa mendengar ketika sedang tidur. Aku memeriksa ponsel. Jam sembilan pagi. Segera duduk dan menghembuskan napas panjang. Cuaca seperti ini nyaman sekali untuk tidur. Namun, tuntutan pekerjaan mengharuskanku untuk bangun dan berlibur. Tidak boleh ada keluhan. Bersyukur bisa gratis.

Aku mengambil jilbabku dan membangunkan Anggie. Anggie bangun dan duduk. Selama beberapa menit kami diam di lantai. Masih perlu waktu untuk benar-benar bangun. Kemudian Anggie memberitahu ayahnya sudah berangkat kerja. Aku langsung keluar. Tidak ada pria berarti bebas.

“Katanya kau mau makan Ayam Geprek Medan, ini kusiapkan. Semoga sesuai lah sama selera kau!” Ucap ibunya dengan logat khasnya.

“Iya, Mak. Kasihan sekali anak ini. Nggak ada ayam geprek rupanya di Kalimantan, weh” Anggie mulai bercanda kembali. Syukurlah ia tidak tersinggung dengan emosiku semalam.

“Maklum. Kami makan ayam hidup soalnya.”  Aku memberikan candaan lama yang sering sekali dibuat saat bersama anak kost underground.

Sekitar setengah jam kami makan sambil mengobrol. Aku lebih banyak mendengarkan ibunya Anggie bercerita. Disahuti sedikit oleh Anggie. Saat di Malang, memang Anggie yang paling sering menghubungi ibunya. Ia anak bungsu yang selalu menceritakan apapun pada ibunya. Dalam sehari sepertinya sekali saja tidak cukup untuk saling memberi kabar. Mungkin karena itu pertama kalinya mereka berjauhan.

___

Anak kost yang lain juga sering menghubungi keluarga. Hanya saja, jika Anggie menelpon, dari ujung kamar Eca sampai ujung kamar mandi pun terdengar suaranya. Heboh sekali. Orang kedua yang juga terdengar heboh ketika ditelpon adalah Tari. Keluar bahasa Bataknya saat itu. Hanya saja, ia jarang menelpon. Biasanya karena skincarenya habis, barulah menghubungi keluarganya. Sedangkan Eca, aku hampir tidak pernah mendengarnya menelpon orangtuanya. Interaksi mereka mungkin cukup lewat chat. Eca lebih banyak menelpon keponakannya. Walaupun tinggal di Lampung, Eca menggunakan logat Banjar dengan dicampur logat Jawa kalau sudah mengobrol dengan keponakannya. Mei juga sering ditelpon. Biasanya menggunakan bahasa Jawa. Nanti berubah lagi bahasanya jika ditelpon temannya yang di Papua. Keluar logat timurnya. Kemudian Rara juga sering menelpon. Banyak sekali orang penting yang ia telpon. Tidak bisa hanya satu. Ada juga Nala dan Adel. Isi percakapan Nala biasanya candaannya dengan ayahnya atau adik-adik kecilnya yang minta uang dengannya. Sedangkan Adel, walaupun banyak tidak mengertinya tapi kebanyakan ia menanyai kabar lalu minta uang. Ayu Wulan dengan bahasa huruf O nya, entah itu Jambi atau Palembang, sedikit mengerti yang dibahas mereka biasanya tentang pola hidup Ayu Wulan. Untuk Cita, kebanyakan isi percakapannya adalah tentang adik-adiknya. Ayu Wulan dan Cita adalah dua anak kost yang tidak bisa sehari saja tidak menghubungi kekasihnya. Sedangkan Andi Ayu, Nadya, Thia dan Alya aku tidak terlalu sering mendengar mereka menelpon. Mungkin karena suara mereka tidak sekeras yang lain.

Rutinitas menelpon orang sudah menjadi kebiasaan yang sudah dimaklumi di dalam kost underground. Entah ingin sekeras atau sepelan apapun nada suara, tidak ada yang merasa terganggu. Justru senang bisa mendengarkan logat dan bahasa masing-masing. Jika ingin tidak didengar, tutup saja pintu kamar maka sudah tidak ada lagi suara yang terdengar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kost UndergroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang