1. Berpisah

154 16 1
                                    

Let's go guyssss

.
.
.

Surat perceraian, begitulah keterangan yang tertera dihadapan dua pasangan suami istri, bahkan ada kedua anaknya disana seakan harus terlibat keputusan yang dibuat orang tuanya.

"Kamu tanda tangan surat itu, besok mau aku serahkan ke pengadilan" ucap si wanita tanpa menatap suaminya.

"Aku tidak habis pikir ya. Padahal kesalahan kamu lebih besar dan kamu seolah-olah tidak merasa bersalah, kamu melampiaskan semuanya ke aku"

Si wanita tampak geram, ia bahkan menggebrak meja.

"Tidak ada yang bisa dimaafkan dari perselingkuhan mas, kamu harus paham dong!!. Kamu bahkan tidak nemikirkan perasaan aku, perasaan anak-anak. Kamu emang egois mas"

"Tapi kamu juga melakukan hal yang sama Githa, kamu dekat sama bos di kantormu dan menjalin hubungan kan?"

"Kamu mau membandingkan kesalahan masing-masing? Kamu bilang kesalahan aku lebih besar? Kamu tidur dengan perempuan itu lebih dari sekali, kamu jalan-jalan keluar negeri, belikan dia tas mahal, kamu sadar melalukan hal itu dan kamu tidak ingat ada istri dan anak-anakmu di rumah?"

Si pria yang menjadi kepala rumah tangga disana mengusap wajahnya kasar. Sebenarnya itu hanyalah kesalahpahaman. Ia sulit menjelaskan kepada istrinya ini. Tapi sayangnya, ia juga kehilangan cinta dan kepercayaannya, karena mengetahui istrinya juga berselingkuh.

"Tapi aku tidak mempunyai keinginan memilikinya, tidak seperti kamu, kamu di ajak menikah kan sama pria itu? Jangan merasa paling sakit Githa"

"Aku sudah muak, 2 tahun bukan waktu yang sebentar menunggu kamu sadar. Aku capek, masa depan aku dan anak-anak masih panjang bahkan tanpa kamu"

Devan, si kepala keluarga itu tak bisa berdebat lagi karena ia juga sudah lelah. Ia tak menyangka waktu yang berlalu begitu panjang ini berujung berpisah. Dan sepertinya itu keputusan yang paling terbaik. Apalagi istrinya itu memutuskan hidup dengan pria lain, makanya perceraian menjadi jalan keluarnya.

Dengan berat hati, Devan menandatangani surat perceraian itu.

"Untuk hak asuh, akan dibahas di pengadilan" Ucap Githa.

Devan pun menyadari sesuatu.

"Kamu licik sekali, kamu akan mengurus hak asuh setelah kamu menikah dengan pria itu, tentu saja hak asuhnya akan jatuh padamu. Tidak adil Githa"

"Lalu kau mau apa? Anak-anak juga tak mau tinggal dengan mu"

"Cukup, biarkan anak-anak mengambil keputusan, mereka sudah dewasa"

"Kamu pikir anak-anak bisa kamu permainkan? Memiliki ayah yang tidak bertanggung jawab?"

Tentu saja dua anaknya tidak ada disana. Meski pembicaraan orang tuanya terdengar samar. Tapi tetap saja itu kasar dan membuat mereka sedih.

Githa memanggil Shaka dan Agas, mereka duduk disana membicarakan hal ini.

"Shaka, katakan sesuatu, kamu harus bisa menilai mana yang baik buat kamu dan adik kamu" Ucap Githa, membuat si sulung itu menatap mereka sedih.

Shaka tentu dilanda bimbang. Ia tak mungkin tak ikut mamanya, karena dari dulu Shaka selalu menempel pada Githa dan tidak mampu jika harus berpisah dari sang ibu.

"Mama tunggu besok. Dan kalian berdua harus mengambil keputusan" Githa mengambil kasar surat perceraian itu dan pergi dari rumah. Ya memang ia sudah tak tinggal lagi dengan suaminya itu.

"Papa jahat, Shaka tidak akan ikut papa" Si sulung pun meninggalkan ruangan itu dan pergi ke kamarnya. Si bungsu hanya bisa menatap bingung, dibanding marah dan kecewa, ia sangat sedih. Ia pun memutuskan menyusul sang kakak untul berdiskusi berdua.

Brother & BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang