Takut

64 13 5
                                    

Apakah aku sudah pernah cerita?
Bahwa menjadi kekasih Minji adalah masa dimana aku merasa aman sekaligus terancam di saat bersamaan.

Aman karena Minji adalah orang yang selalu bisa diandalkan, namun juga terancam karena aku jelas menyadari tatapan sinis dari orang-orang yang tertolak cintanya oleh Minji.

Aku sebenarnya punya satu rahasia yang tak pernah kuceritakan pada Minji. Tepat satu bulan sebelum aku memergoki Minji selingkuh di sekre bem. Yaitu masa-masa dimana Minji mulai berubah, aku beberapa kali mendapatkan pesan ancaman dari nomor tak dikenal.

Tentu aku takut, tapi aku juga takut hendak menceritakan pesan-pesan kaleng tersebut pada Minji atau pada siapapun.

Apalagi saat itu aku juga sering dapat kabar tak mengenakkan soal Minji yang jalan bersama perempuan-perempuan lain yang selalu Minji elak bahwa dia hanya sedang mengerjakan tugas atau hangout dengan temannya tanpa ada unsur cheating sama sekali.

Minji selalu bilang saat itu, bahwa dia berhak menghabiskan waktu dengan teman-temannya, baik itu sekedar mengerjakan tugas ataupun jalan-jalan dengan temannya yang lain. Padahal dua tahun bersamanya, Minji hanya akan main dengan teman2 sirkel begajulannya, dia tak pernah hanya jalan berdua apalagi dengan teman yang menurutku tak sedekat itu dengan Minji. Tapi mungkin aku saja yang terlalu curiga? Pada akhirnya, aku memang tak punya bukti bahwa Minji berusaha mengkhianatiku dari aktivitas-aktivitas sosialisasinya bersama teman-temannya.

Dan soal pesan-pesan tadi, aku takut bercerita. Rasanya ngeri sendiri membayangkan jika saja pengirim pesan-pesan tersebut adalah salah satu dari teman yang menghabiskan waktu dengan Minji.

Sebenarnya aku penasaran, apakah Minji akan khawatir padaku, kemudian karena tersangkanya adalah orang-orang yang Minji bilang teman, atau siapapun yang suka pada Minji, pada akhirnya Minji akan menghentikan kebiasaan nongki berduaannya. Atau justru dia marah karena menganggap aku mengada-ada dan menuduh temannya. Entahlah aku tak tahu karena tak pernah menceritakannya.

Dan aku kira, setelah aku putus dengan Minji. Aku akan berhenti mendapat pesan-pesan ancaman tersebut, namun kenyataannya, terhitung 4 bulan sudah sejak kami putus, pesan-pesan itu tak juga berhenti mendatangi kotak masuk sms ataupun nomor whatsappku.

Aku bahkan selalu membalasi pesan-pesan tersebut dan bilang bahwa aku sudah putus dengan Minji. Namun, pesan-pesan itu tak juga berakhir. Aku heran orang kuker mana yang rela menghabiskan uang untuk membeli nomor sekali pakai berulang kali dalam kurun waktu 5 bulan. Hanya demi memberi ancaman pada kekasih crushnya? Oke, bahkan mantan kekasih.

Aku sampai mengganti nomor telepon pribadi. Untuk nomor yang jadi sasaran ancaman tersebut, kubiarkan tetap menjadi nomor yang kupakai untuk join grup-grup mata kuliah atau apapun yang berhubungan dengan kampus. Aku hanya perlu terbiasa, atau perlukah aku lapor pada polisi?

~-~

"Haerin, kamu sakit?"

Aku tersadar dari lamunanku. Kulihat Hanni baru saja selesai memasak mie yang akan kami santap untuk menonton film bersama. Dia meletakkan panci berwana keemasan yang dia bawa dari dapur mini kamarku ke atas meja depan sofa yang aku tempati.

 Dia meletakkan panci berwana keemasan yang dia bawa dari dapur mini kamarku ke atas meja depan sofa yang aku tempati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menggelengkan kepalaku, kemudian aku merasakan punggung tangan Hanni pada dahiku.

"Kamu pucat tau, dari tadi juga diem aja kayak lagi mikirin sesuatu. Tapi ya ga anget sih."

Hanni menarik kembali tangannya, kemudian dia mengambil posisi di sampingku.

"Kamu kalo ada apa-apa cerita, gausah dipendem."

Hanni meletakkan kepalanya pada bahuku, lengannya dia lingkarkan pada pinggangku. Aku mengusap-usap punggung Hanni, kucium pucuk kepalanya.

"Aku gapapa kok, cuma capek aja akhir-akhir ini kan banyak tugas."

Hanni menatapku sangsi, kurasa dia kelewat peka bahwa gelagatku akhir-akhir ini tidak dikarenakan beban kuliah.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman, meyakinkan bahwa aku baik-baik saja.

Cup

Aku sedikit terkejut, Hanni mencuri satu kecupan singkat di bibirku. Dia tersenyum lebar. Semua itu membuat jantungku berdetak kencang tak karuan, semoga dia tak mendengarnya.

"Yaudah kalo kamu gamau cerita sekarang, tapi kamu tau kan, kamu punya aku buat berbagi semua masalahmu?"

Aku masih sedikit membeku, sebenarnya aku salah tingkah dengan semua perlakuan Hanni. Memangnya boleh, tak ada hubungan tapi main cium-cium kayak gitu?

Akhirnya aku menggenggam tangan Hanni dan membawanya mendekati wajahku, kucium punggung tangan Hanni dengan lembut.

"Makasih ya, aku pasti bakal cerita kok kalo ada masalah."

Aku mengusap rambut Hanni dan merapikan anak rambutnya ke belakang telinganya. Namun tiba-tiba Hanni menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku bisa melihat rona kemerahan dari sisi yang tak tertutupi kedua telapak tangan mungilnya.

Aku tertawa kecil, kenapa malah Hanni yang jadi salah tingkah.

"Ih jangan ketawa, kamu tu bikin jantungku ga aman."

Aku menaikkan satu alisku untuk menggoda Hanni.
Larangan Hanni justru membuat tawaku makin mengudara.

"Mana sini yang ga aman, coba aku periksa."

Kudekatkan telingaku pada dada Hanni sebelah kiri. Aku menajamkan telingaku. Memang terdengar detak jantung hanni dalam tempo cepat. Kurasa memang kami merasakan hal yang sama.

Dengan masih di posisi seperti itu, aku mengangkat sedikit kepalaku untuk melihat Hanni. Kini dia tengah menatapku dengan wajahnya yang memerah.

"Haerin!!"

Hanni mendorongku, tapi dorongannya terlalu lembut. Membuatku kembali tertawa.

"Udah ah jangan ketawa mulu, aku malu."

Hanni menenggelamkan wajahnya pada dadaku, yang langsung kusambut dengan usapan di punggungnya.

"Eh, ini mienya keburu dingin. Ayo makan dulu," kataku lembut. Usapanku pada punggung hanni, naik turun pada punggung dan kepala belakangnya.

"Biarin ah, mau gini dulu."
Dengan suara yang teredam, hanni masih betah menenggelamkan wajahnya di dadaku. Dia memelukku makin erat.

Aku tersenyum, Hanni sungguh menjadi obat bagiku. Aku suka sikap clingynya padaku.

Malam itu, hanni akhirnya menginap di kosku.

Tbc

~-~

Sweet and Sour Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang