Ragu

75 11 4
                                    



Aku membuka mataku. Kepalaku terasa agak pusing, sekujur badanku juga terasa lelah. Aku meregangkan tanganku dan membalikkan tubuhku ke samping. Kulihat ada punggung manusia di sampingku.

Aku menguap, masih merasa sedikit mengantuk. Aku memejamkan mataku lagi.

Tunggu?

Punggung manusia?

Buru-buru aku bangun dan mengubah posisiku menjadi duduk. Kusingkap pelan selimut yang menutupi punggung telanjang seseorang di sampingku. Dia sungguhan tak mengenakan sehelai benang pun.

Oke aku ingat. Semalam kami meminum beberapa kaleng alkohol dan melewati malam yang menggairahkan bersama.

Aku menepuk kepalaku berulang kali. Haerin bodoh, bagaimana bisa aku menyentuh seseorang yang sangat kusayangi?

Ini pertama kalinya diriku berhubungan intim. Selama menjalin kasih bersama Minji, seperti yang kuceritakan di awal. Aku tak pernah mengizinkan Minji menyentuhku lebih dari sekedar ciuman dan pelukan. Meski kami menginap bersama, kami paling hanya akan cuddle tanpa adegan pelepasan dari kain yang kami kenakan.

Minji selalu menghormati keputusanku. Meski dia seringkali melontarkan candaan mesum di sesi berduaan kami. Dia tak pernah memaksaku melakulan hal-hal semacam itu.

Ugh, aku jadi merasa bersalah karena sudah menyentuh gadis yang sekarang mengisi hatiku ini. Selain kami bahkan belum punya hubungan, menurutku hal-hal intim seperti ini harusnya hanya dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah.

Aku merasa menjadi orang yang sangat brengsek. Dasar haerin bodoh.

"Sayang? Ini juga pertama kali kok buat aku," suara serak khas bangun tidur memecah kesunyian pagi dan berisiknya kepalaku.

Aku menoleh, Hanni sudah bangun. Dia duduk dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Mungkin dia bisa menangkap raut penyesalan dari wajahku. Aku tentu pernah memberitahunya soal prinsipku dalam batasan sebuah hubungan. Lebih kepada aku menceritakan bagaimana hubunganku dengan Minji dahulu.

"Kamu jangan ngerasa bersalah gitu, aku seneng kok. Kan emang aku yang minta."

Hanni mendekat padaku dan memelukku. Dia tenggelamkan wajahnya pada ceruk leherku. Sisi depan telanjangnya mengenai sport braku. Ugh aku merasa panas.

"Aku ga nyangka kamu jago banget. Padahal kamu ga pernah kayak gituan kan."

Hanni menggodaku dengan posisi wajahnya yang masih tenggelam di leherku. Wajahku memerah. Aku juga heran kenapa instingku bisa bertindak semulus itu.

Kembali terekam beberapa ingatan samarku soal kejadian semalam. Lenguhan indah Hanni ketika menyebut namaku. Tentang betapa berhasratnya diriku sehingga tadi malam adalah sesi yang sangat menggairahkan.

Sprei spring bedku yang sudah acak-acakkan dan terlepas di setiap sudutnya, mengingatkanku tentang betapa panasnya kejadian semalam.

"Maaf ya han..."

Hanya itu yang keluar dari mulutku untuk menjawab segala kalimat Hanni. Padahal dia sama sekali tak merasa keberatan. Justru terlihat senang, mungkin ingatannya sangat indah perihal semalam.

"Kenapa minta maaf sih? Kita kan sama-sama mau. Memangnya kamu nyesel udah gituan sama aku?"

Hanni mengangkat wajahnya untuk menatapku. Dia tak mengerti kenapa aku masih saja terlihat menyesal. Dia mulai kecewa, untuknya pergulatan panas kami adalah sesuatu yang menggembirakan tanpa tersisa sedikitpun penyesalan. Tapi mengapa aku malah sebaliknya?

"Rasanya aku kayak ga ngehormatin kamu. Apalagi ini juga pertama kali buatmu."

Aku berusaha mengeluarkan suara selembut mungkin. Berharap Hanni tak salah paham dengan maksudku. Aku mengusap punggung telanjang Hanni.

Sweet and Sour Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang