Tentang Kita

58 12 1
                                    

Percaya tak percaya, sore itu aku pulang diantar oleh Minji. Hujan masih turun hingga malam, Minji tak akan membiarkanku pulang dengan ojek ataupun taksi online.

Aku menghabiskan waktu 1 jam an menangis di pelukannya. Aku tak mengerti apakah aku yang terlalu naif ataupun dia yang kelewat tak tahu malu.

Satu yang kuingat, dia memelukku sehangat rengkuhannya selama ini. Aku masih merasa nyaman menangis di pelukan orang yang sudah mengkhianatiku. Di pelukan orang yang menjadi penyebab aku menangis selama itu.

Dia mengusap punggungku, mengusap rambutku. Menangkup pipiku dan mengusap air mataku.

"Pulang yuk? Udah mau gelap."

Apa dia sebrengsek itu sehingga bisa dengan santai memperlakukanku demikian?

Bodohnya aku hanya mengangguk menurut. Aku jelas syok, namun aku bisa apa tanpa Minji?

Kemana wanita selingkuhannya? Entahlah. Aku terlalu fokus menangis di bahu minji. Tau-tau air mataku sudah habis dan kelopak mataku membengkak.

"Maafin aku ya? Aku khilaf."

Anjing?

Aku ingin memborbardirnya dengan beribu pertanyaan. Menuntut penjelasan lebih dalam hingga aku paham.

Namun, aku tak punya tenaga. Antara diriku yang sudah terlalu lelah menangis, atau alam bawah sadarku yang masih belum pulih dari keterkejutan.

Aku tak menjawab dan hanya mengikuti langkahnya di sebelahku.

Minji memayungiku ke parkiran. Membukakan pintu penumpang dari mobil honda civic type R keluaran 2023 berwarna grey pearl kesayangannya. Tak bisa kupungkiri bahwa mobil itu setampan pemiliknya.

Iya juga ya. Minji itu kaya, cakep, pintar, tinggi, wangi, dan punya kepribadian yang ramah.

Tak heran semua orang yang bertemu dengannya akan naksir setidaknya sekilas ketika pertama kali bertemu dengannya.

Apakah aku pantas untuknya?

Aku datang dari keluarga berkecukupan namun tak sekaya minji. Parasku memang cantik namun orang-orang sepertiku pasti umum ditemui di kampus bukan?

Kepintaranku sekarang tak lepas dari campur tangan minji. Andai saja aku tak bertemu minji di awal semester, bisa saja takdirku berbeda dan hingga sekarang aku akan menghabiskan waktu untuk menangisi tugas dan mata kuliahku.

Keaktifanku di kampus?

Aku mengikuti berbagai kepanitiaan dan sekarang menjadi ketua divisi dari bem fakultas. Aku juga beberapa kali mengikuti ataupun memenangkan lomba.

Bukankah aku pantas untuk Minji?

Aku juga selalu memperhatikan Minji. Membuatkannya bekal ketika aku sempat, memasak berbagai makanan enak untuknya, membuatkan kue-kue ala bakery untuknya. Aku selalu mengurus Minji ketika dia sakit, mendengarkan berbagai keluhan atau ceritanya dan memberikan feedback yang dapat membuatnya tenang.

Aku belajar dari cara Minji memperlakukanku, dan aku ingin juga membuatnya merasakan kasih sayang yang sama.

Aku merasa cinta kami setara, meski yang kurasakan cinta dan effort Minji lebih besar. Maka apa yang kurang?

Sepanjang perjalanan ke kosku, aku hanya tenggelam dalam pikiranku.

Daripada menyalahkan Minji, aku tak henti-hentinya mempertanyakan kekuranganku.

Yeah, ada satu hal yang tak pernah aku berikan pada Minji.

Aku tak pernah mengizinkan minji menyentuhku lebih dari sekedar pelukan atau ciuman ringan di bibir ataupun pipi.

Pemandangan wanita tadi yang sudah bertelanjang dada di pangkuan Minji menyadarkanku.

Minji ingin lebih.

Minji mendambakan sesuatu yang tak bisa aku berikan. Dan dia mencarinya di orang lain.

Circle minji memang terdiri dari orang-orang yang gemar bergonta ganti pacar. Dan kujamin mereka gampang saja melakukan pergaulan bebas.

Apakah Minji jadi olok-olokan di tongkrongan karena tak pernah bisa menyentuhku?

Padahal gampang saja bagi Minji jika ingin melakukan itu dengan orang lain. Tak terkira deretan nama gadis yang menggoda dan mengajaknya melakukan hal-hal tak senonoh.

Kurasa aku memang sudah menemukan jawabannya. Bukankah tak serumit yang kukira?

Tapi itu sangat rumit bagiku. Sungguh.

"Sayang, kita udah nyampe kosmu."

Suara lembut Minji membuyarkan lamunanku. Ya ampun, setelah semua yang dia lakukan, dia masih bisa memanggilku 'sayang'?

Sungguh bermuka tembok.

Minji membuka pintu mobil di sisinya dan melebarkan payung. Seperti biasa, dia membukakan pintu untukku. Dia bahkan mengulurkan tangannya untuk membantuku turun.

Bisa-bisanya aku merasa tak enak pada Minji dan menerima uluran tangannya. Sepertinya aku yang paling tolol disini.

Aku menghentikan Minji di teras kosku, tak mengizinkan dia mengantarku sampai depan kamar.

"Kamu kayaknya butuh waktu sendiri dulu ya? Kalo gitu aku pamit dulu. Kabarin aku kalo udah tenang ya"

Minji mengecup dahiku dan mengusap lenganku.

Dimana rasa bersalahmu wahai Kim Minji?

Aku diam, sama sekali tak menjawab dan hanya menatapnya kosong.

"Nanti aku pesenin gofood, jangan lupa diambil, jangan lupa dimakan. I love you."

Minji tetap mengeluarkan suara meski aku tak memberikan tanggapan sejak tadi. Dia mengusap rambutku terakhir kali sebelum akhirnya benar-benar berbalik, melangkah keluar dari pagar kosku.

Aku hanya menatap kepergian mobilnya hingga keberadaannya lenyap dari pandanganku.

How sweet, but sour at the same time.

~-~

Tbc

Sweet and Sour Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang