04.

81 10 1
                                    

Kajja.. kita hadapi bersama..

Kalimat itu terus terngiang-ngiang di benak Jimin. Suara Minjeong yang lembut dan penuh kesungguhan, ditambah genggaman tangan mungilnya yang ternyata mampu memberikan kekuatan yang selama ini dibutuhkan oleh Jimin. Ia menatap lekat tangan kanannya. Genggaman itu masih terasa hingga kini.

Kim Minjeong..

Jimin melipat kedua lengannya di depan dada dan menatap ke luar jendela rumahnya. Ia menghela nafas panjang.

Jika diingat-ingat, yang Jimin tahu tentang Kim Minjeong hanyalah, dia pekerja keras dan bekerja dengan sangat baik. Pekerjaan-pekerjaan yang diberikan pada Minjeong pasti akan selesai tepat waktu. Wanita berambut blonde itupun melakukan pendataan terhadap dokumen-dokumen penting perusahaan dengan sangat rapi. Bahkan, Jimin tidak perlu khawatir terhadap resume-resume rapat karena Minjeong selalu mencatat semuanya tanpa terkecuali. Minjeong adalah satu-satunya staff yang dapat mengikuti ritme kerja Jimin. Dan Jimin baru menyadarinya hari ini...

Dan dia bernasib sama sepertiku..

Jimin menggigit bibir bawahnya. Masih teringat jelas raut wajah Minjeong saat ia memberitahukan dirinya juga sudah tidak memiliki orangtua.

Dia ditinggal sedari dia kecil.. ditinggal di panti asuhan? Ya Tuhan.. bahkan nasibku lebih baik dari itu..

Selama ini, Jimin memang tidak pernah menunjukkan kesedihan dan rasa sepi. Tapi bukan berarti ia tidak merasakannya. Jimin kerap mengutuk dunia, bahkan Tuhan-nya, menganggap bahwa kematian kedua orangtuanya tidak adil baginya.

Tapi bukankah apa yang dialami Minjeong lebih tidak adil lagi?

Setidaknya, Jimin merasakan kasih sayang kedua orangtuanya. Di didik dengan baik dan tumbuh menjadi tangguh dengan orangtua yang lengkap. Bahkan, kebutuhan Jimin selalu terpenuhi tanpa kurang sedikitpun.

Sedangkan Minjeong?

Jimin menoleh kearah meja kecil di dekat sofanya. Terdapat 2 handphone yang tergeletak diatas meja itu. Satu handphone yang digunakan Jimin untuk bekerja, dan satu handphone lainnya yang ia gunakan untuk keseharian. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, dan meraih handphone kerjanya. Ada hal yang sedari tadi cukup mengganggu pikirannya. Ia nampak mengutak-atik layar handphonenya, yang kemudian ia dekatkan handphone itu ke telinga kanannya.

"Ne Nona Yu..." Suara seorang pria dewasa terdengar di seberang sana.

"Tuan Jin Wook.." Jimin menegakkan tubuhnya. "Mian saya mengganggu waktu Anda.."

"Ani, Nona Yu.. ada yang bisa saya bantu?"

Jimin kembali menggigit bibir bawahnya ragu.

"Eemm.. Tuan Jin Wook.. bagaimana Anda bisa menemukan Kim Minjeong?"

"Ne?"

"Tuan Jin Wook sendiri berkata jika Kim Minjeong adalah satu-satunya orang yang Tuan pilih untuk menjadi sekretaris saya. Boleh saya tahu cerita lengkapnya? Bagaimana Tuan merekruit Kim Minjeong?

"Aigoo Nona.. apakah Minjeong membuat masalah?"

"Anii anii.." Jimin menggelengkan kepalanya sekalipun ia tahu Jin Wook tidak akan mungkin melihatnya. "Saya hanya penasaran.. karena.. dia bekerja dengan sangat baik."

"Aahh.. begituu.." Jin Wook tidak langsung melanjutkan ucapannya. "Apakah Nona Yu ingat dengan Nyonya Kim Mi Kyung?"

"Huh?" Jimin mengernyitkan dahinya bingung. "Nyonya Kim Mi Kyung?"

Jimin merasa pernah mendengar nama itu. Namun ingatannya sama sekali tidak membantu.

SPARKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang