Pagi itu, Al bangun lebih awal dari biasanya. Semalaman ia tidak bisa tidur, hatinya dipenuhi kegelisahan dan rasa bersalah yang mendalam. Setelah memastikan dirinya siap, ia melangkah ke arah kediaman Puteri Andin. Al tahu bahwa tidak akan mudah bagi Andin untuk memaafkannya, tapi ia bertekad untuk mencoba.
Ketika sampai di pintu kamar Andin, ia ragu sejenak, namun akhirnya mengetuk pintu pelan.
"Andin... bolehkah aku masuk?" tanyanya dengan suara pelan, penuh harap.
Tidak ada jawaban dari dalam, namun salah satu dayang yang berada di dekatnya menyampaikan izin. "Puteri Andin sedang istirahat, Pangeran, namun ia sudah bangun. Jika Pangeran ingin masuk, saya akan mengantarkan."
Al mengikuti dayang itu dan akhirnya melihat Andin yang tengah duduk di tepi jendela kamarnya, terlihat tenang namun lelah. Wajahnya sedikit pucat, dan matanya menunjukkan sisa-sisa kesedihan. Saat menyadari kehadiran Al, Andin menatapnya sekilas dengan tatapan yang sulit dibaca, kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke luar jendela.
"Andin," Al mulai, suaranya bergetar. "Aku... aku ingin meminta maaf."
Andin tetap diam, namun Al bisa merasakan keengganan dan kekosongan di balik keheningan itu. Ia melangkah mendekat, berharap Andin setidaknya mau mendengarkannya.
"Aku tahu, selama ini aku telah memperlakukanmu dengan cara yang salah. Aku mengabaikanmu, memandangmu sebagai gangguan... padahal kau hanya berusaha menunjukkan perhatianmu," lanjut Al dengan suara lirih. "Dan... aku sadar bahwa aku sudah terlalu terlambat memahami semua itu."
Andin menatapnya, masih dengan tatapan dingin dan hati-hati. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara, suaranya penuh ketegasan yang jarang ditunjukkannya pada Al.
"Kenapa sekarang, Al?" Andin bertanya, nadanya dingin namun mengandung kepedihan yang dalam. "Kenapa setelah sekian lama aku menunggumu, berharap bahwa kau akan mengerti... sekarang kau baru menyadari kesalahanmu? Apa karena aku akhirnya sakit dan harus diobati oleh orang lain?"
Al terdiam, tersudut oleh kata-kata Andin. Ia menunduk, merasa setiap kata Andin menusuk hatinya.
"Selama ini, Al, aku selalu berada di sampingmu," lanjut Andin, nadanya sedikit bergetar. "Aku mencintaimu, meskipun kau selalu mengabaikan dan menyakitiku. Aku berharap, meski hanya sekali, kau akan melihatku sebagai seorang wanita yang mencintaimu... tapi kau bahkan tidak pernah memberi kesempatan itu."
Air mata mulai menggenang di mata Andin, tapi ia menahannya, berusaha menunjukkan ketegaran di hadapan Al.
"Aku menyesal, Andin. Aku benar-benar menyesal," Al berkata dengan tulus. "Aku tahu bahwa kata-kata ini tidak cukup untuk menghapus semua luka yang sudah ku buat... tapi aku bersungguh-sungguh. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin memperlakukanmu dengan layak, seperti seharusnya seorang tunangan memperlakukan orang yang dicintainya."
Andin menatap Al, matanya menyiratkan kelelahan dan keraguan. Baginya, kata-kata itu seperti janji yang terlambat. Namun, jauh di dalam hatinya, ia masih memiliki sisa perasaan yang sama—perasaan yang begitu kuat untuk Al, meski sudah terluka berkali-kali.
"Tapi bagaimana aku bisa mempercayaimu, Al?" ucap Andin lirih, dengan suara yang hampir pecah. "Bagaimana aku bisa yakin bahwa kali ini kau sungguh-sungguh, dan bahwa kau tidak akan meninggalkanku lagi?"
Al merasa dadanya sesak. Ia tahu bahwa kepercayaan itu sulit untuk diperoleh kembali setelah semua yang ia lakukan. Namun, ia memutuskan untuk bersikap jujur dan terbuka di hadapan Andin.
"Aku tahu aku tak pantas untuk mendapat kesempatan lagi darimu," jawab Al. "Aku tahu bahwa tak ada jaminan kalau aku bisa mendapatkan kembali kepercayaanmu. Tapi, jika kau mau memberiku satu kesempatan terakhir... aku akan membuktikan bahwa aku pantas untuk cintamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
RAJA DAN RATU -ALDEBARANANDIN-
RomanceSebagai seorang putri dari Luminera Kingdom, Andini Willison Prameswari hidup dikelilingi kemewahan. Puteri raja, cantik, dan pewaris satu-satunya dari kerajaan besar membuat hidup putri Andin nyaris sempurna. Sayangnya, penyakit jantung yang di der...