Chapter 3

4 1 0
                                    

Tanpa berpikir panjang, Emma segera membuka kotak tabungannya yang terletak di bawah tempat tidur. Jantungnya berdetak kencang saat menatap tumpukan uang yang terlihat begitu sedikit. Sepuluh ribu dolar. Hanya itu yang bisa ia kumpulkan. Jumlah yang jelas tidak cukup untuk menutupi utang orang tuanya yang tersisa sembilan ratus juta lagi. Rasa putus asa dan kekhawatiran menggerogoti dirinya, seolah dunia mulai runtuh di sekitarnya.

Dengan napas tertahan, Emma memberanikan diri membuka pintu. Di ambang pintu, tiga pria dewasa berdiri menunggu. Tobi, sang penagih utang, mengenakan jas rapi, senyumnya sinis, dengan dokumen di tangan yang jelas berisi rincian utang yang harus segera dilunasi. Di sampingnya berdiri dua pria bertubuh besar, dengan lengan penuh otot dan tatapan dingin, menambah kesan intimidasi.

"Ku harap kali ini aku mendengar berita baik, Emma!" kata Tobi dengan nada mengejek, matanya bersinar licik seolah menikmati penderitaan yang tergambar di wajah Emma.

Emma berusaha menenangkan diri, namun kegelisahan yang ia rasakan tidak bisa disembunyikan. Tangannya yang gemetar mengulurkan uang sepuluh ribu dolar yang ia kumpulkan selama dua bulan terakhir. "Aku... aku akan membayar sisanya nanti. Aku janji," katanya dengan suara yang nyaris pecah. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis.

Tobi melihat uang itu dengan tatapan kecewa yang disengaja, kemudian mendengus. "Sepuluh ribu dolar?" Dia melirik uang itu seperti sampah. "Ini bahkan tidak cukup untuk menutupi bunga, Emma!" suaranya meninggi, ekspresi wajahnya berubah menjadi amarah yang terasa dibuat-buat namun mengintimidasi. "Aku sudah memberimu waktu cukup lama, dan ini hasilnya?"

Emma menggigit bibir, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Aku tahu. Tapi ini semua yang bisa aku kumpulkan... dua bulan terakhir ini sangat sulit." Suaranya semakin kecil, hampir tak terdengar. Ada nada putus asa di dalamnya, sesuatu yang tidak bisa lagi disembunyikan.

Tobi menggelengkan kepala, raut wajahnya dingin. "Aku tidak peduli dengan kesulitanmu. Ini masalahmu, bukan masalahku. Yang aku tahu, utang itu harus dilunasi. Dan kalau kau tidak bisa bayar, aku akan mengambil rumah ini—hari ini juga." Ia melambaikan tangan ke arah dua pria besar di sampingnya, dan mereka mulai melangkah masuk dengan sikap tanpa kompromi.

"Tunggu!" Emma menahan langkah mereka, tangannya yang kecil mencoba menghentikan mereka meskipun jelas tidak ada kekuatan yang cukup. "Aku mohon, beri aku waktu lebih. Dua bulan lagi, tolong! Aku akan bayar semuanya, aku janji!" Suaranya pecah, air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh, mengalir di pipinya.

Tobi menatap Emma dengan senyum dingin yang membuat perutnya terasa mual. "Waktu lagi? Berapa kali aku sudah mendengar janji yang sama darimu?" Dia menyandarkan tubuhnya dengan santai di kusen pintu, terlihat sangat puas dengan kekuasaannya atas situasi ini. "Aku bukan orang bodoh, Emma. Kau pikir aku bisa terus menunggu?"

"Aku bersumpah, Tobi," desak Emma, air mata terus mengalir. "Aku hanya butuh sedikit lebih banyak waktu. Dua bulan lagi. Aku akan melunasi semuanya."

Tobi tertawa kecil, senyum mengejek terlukis di wajahnya. "Dua bulan lagi, ya?" Ia menatap kedua pria besar yang bersiap di belakangnya, lalu kembali menatap Emma dengan tatapan dingin. "Baiklah. Dua bulan, tapi ada syaratnya." Tobi menyeringai lebar. "Tambahan seratus ribu dolar. Itu harga untuk perpanjangan waktu."

Emma terperanjat. Seratus ribu dolar tambahan? Ia hampir tidak bisa percaya apa yang baru saja didengarnya. Uang sebanyak itu jelas di luar kemampuannya, bahkan untuk dibayangkan. "Seratus ribu dolar tambahan?" ulang Emma, suaranya bergetar. "Aku tidak punya uang sebanyak itu, aku bahkan tidak tahu harus ke mana mencari uangnya."

Tobi menatapnya dengan penuh kemenangan. "Itu urusanmu, bukan urusanku. Kalau kau tidak bisa bayar, kami akan ambil rumah ini sekarang."

Emma merasakan dunia di sekitarnya berputar. Opsi yang tersisa semakin tipis, dan waktu terasa semakin cepat berlari meninggalkannya. "Baik," ujarnya tiba-tiba, suara kepanikannya meninggi. "Baik! Tambahan seratus ribu. Aku... aku akan mencari cara."

The One Who Stole My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang