prolog

54 11 0
                                    

Alya masih ingat hari pertama ia melihat Bima di kampus. Waktu itu, ia baru saja keluar dari ruang kelas, menenteng buku-buku tebal yang seakan ingin segera dilepaskannya. Hari itu begitu panas, dan ia tak sabar ingin segera pulang.

Saat itulah, di tengah keramaian mahasiswa yang berlalu-lalang, ia melihat seorang laki-laki yang berdiri di sisi taman kampus. Dengan jaket kulit dan rambut yang sedikit acak-acakan, Bima tampak tidak peduli pada hiruk-pikuk sekitar. Ia sedang duduk di bangku kayu, memainkan gitar dengan begitu khusyuk, seolah dunia di sekitarnya tak lebih dari sekadar latar belakang yang bisa diabaikan.

Alya terpaku, tak bisa mengalihkan pandangannya. Nada-nada yang dimainkan Bima terdengar lembut, mengalun pelan dalam kesederhanaannya. Semua terasa seolah melambat saat ia mendengar nada pertama itu, dan ia tak tahu mengapa suara gitar itu menyentuh hatinya.

Lalu, seolah merasakan ada yang memperhatikan, Bima mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Bima tersenyum kecil, senyum yang hangat dan bersahabat. Tanpa ragu, ia mengangguk kecil ke arah Alya, mengisyaratkan sapaan yang tak perlu kata. Alya balas tersenyum, sedikit kikuk, namun ada sesuatu di dalam hatinya yang berdesir pelan.

Dari momen sederhana itu, hidup mereka perlahan-lahan mulai terjalin. Percakapan ringan tentang musik, pertemuan di sela-sela kesibukan kuliah, hingga akhirnya tawa dan cerita yang semakin sering mereka bagi. Dalam hitungan bulan, mereka menjadi sepasang kekasih, menikmati indahnya cinta yang masih polos dan hangat.

Namun, Alya tak pernah menyangka jika rasa bahagia yang ia temukan bersama Bima akan menjadi awal dari perjalanan pahit yang menguras seluruh keberaniannya. Di balik senyum Bima dan segala impian mereka, ada tembok tebal yang mulai terlihat. Sebuah tembok bernama tradisi dan restu yang tak pernah mereka perhitungkan sebelumnya.

Bukan perpisahan yang ku tangisi tapi pertemuan yang ku sesali

𝐻𝑢𝑟𝑡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang