pov bima

11 6 1
                                    

Bima mencoba mengalihkan pikirannya pada hal-hal baru di kota ini, jauh dari tempat semua kenangan bersama Alya. Setelah surat perpisahan itu terkirim, ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk berdamai dengan perasaannya adalah dengan meninggalkan segala hal yang pernah mengingatkan dirinya pada Alya. Kota baru ini adalah pilihannya, kesempatan untuk memulai kembali tanpa terus-menerus dihantui bayangan Alya.

Kesehariannya kini dipenuhi dengan aktivitas kuliah yang padat. Setiap pagi, ia bangun lebih awal, langsung berangkat ke kampus, dan menyibukkan diri dengan berbagai tugas. Ia mencoba mengisi waktunya dengan proyek-proyek, kegiatan organisasi, dan segala hal yang bisa membuatnya lupa akan kenangan yang terus menempel. Kadang-kadang, ia berhasil-tapi seringnya, rasa itu masih ada di sana, muncul tanpa permisi di tengah malam yang sepi.

Di sela-sela kesibukan, Bima mendapati dirinya berusaha mengingat hari-hari bahagia mereka, kenangan yang dulu membuatnya merasa utuh. Dan setiap kali kenangan itu datang, ada rasa sakit yang timbul, seperti luka yang terus dibuka. Bima sadar bahwa pindah ke kota baru bukan berarti bisa menghapus perasaannya dengan cepat. Prosesnya lambat, dan seringkali menyakitkan, tapi ia tahu bahwa ia perlu menjalani ini.

---

Siang itu, Bima sedang duduk di kantin kampus sendirian. Tatapannya kosong, fokusnya teralihkan pada sesuatu yang tak terlihat, jauh di masa lalu. Segelas kopi di depannya nyaris tak tersentuh, dan tumpukan catatan kuliah tetap saja terabaikan.

"Nah, lo lagi-lagi bengong," suara seseorang mengagetkannya. Temannya, Reza, sudah duduk di depannya sambil menyeringai. "Lo mikirin apa sih? Nggak biasanya lo jadi suka melamun kayak gini."

Bima tersenyum tipis, mencoba mengabaikan pertanyaan itu. "Nggak ada, biasa aja, kok."

"Ah, nggak mungkin, bro. Tiap gue lihat, lo kayak tenggelam di dunia sendiri. Ada apa sih? Jujur aja sama gue."

Bima terdiam sejenak, lalu menunduk sambil mengaduk kopinya yang mulai dingin. Setelah beberapa detik, dia menghela napas panjang.

"Rez, gue cuma... lagi adaptasi aja sama tempat baru. Sama, ya, urusan lama yang belum selesai," jawab Bima perlahan.

Reza menatap Bima dengan alis terangkat. "Urusan lama? Lo maksud mantan, ya?"

Bima tertawa kecil, tapi nadanya getir. "Iya, kira-kira begitu."

Reza mengangguk, mencoba memahami. "Wajar kalau lo butuh waktu, apalagi kalau lo sayang banget sama dia. Tapi, lo udah pindah kota, Bim. Gue yakin lo bisa pelan-pelan ngelepasin semua itu."

Bima mengangguk, walaupun ia tahu proses ini tak semudah yang terlihat. Reza mungkin benar, tapi hanya Bima yang tahu seberapa dalam perasaan yang ia punya untuk Alya-dan bagaimana setiap kenangan itu masih membekas, meski jarak dan waktu memisahkan mereka.

---
Malam harinya
Bima membuka buku catatan kecilnya dan memandang halaman kosong yang ada di depannya. Tangannya sedikit gemetar saat mulai menulis, seperti menuliskan bagian dari dirinya yang tak pernah ia ucapkan kepada siapa pun.

---

**" beberapa hari berlalu sejak aku mengirim surat itu untukmu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**" beberapa hari berlalu sejak aku mengirim surat itu untukmu. Mungkin kamu membacanya, mungkin juga tidak, tapi aku harap kamu tahu apa yang aku rasakan. Aku menulis ini bukan karena aku ingin kembali, bukan juga karena aku tak mampu melanjutkan hidupku. Aku hanya... aku hanya ingin melepaskan semua yang masih terpendam di sini
Alya  aku berharap semuanya akan menjadi lebih baik. Aku berharap jarak bisa menjadi obat untuk luka yang dulu kamu tinggalkan. Tapi ternyata, kenangan itu tetap saja mengikutiku ke mana pun aku pergi. Bayanganmu selalu muncul di sela-sela waktu, di antara kesibukan, bahkan dalam mimpi.

Setiap kali aku melihat pasangan di jalan, aku teringat kita. Kita yang dulu punya harapan, yang pernah berjanji untuk selalu bersama meski keadaan tidak mendukung. Aku masih ingat senyummu, tawa kecilmu, dan setiap momen yang pernah kita bagi bersama.

Alya, aku tahu aku harus melupakanmu, aku tahu aku harus melanjutkan hidupku. Tapi, maafkan aku karena masih terlalu lemah untuk benar-benar menghilangkanmu dari ingatanku. Aku akan terus mencoba, tapi mungkin ini tidak akan mudah. Mungkin aku butuh waktu lebih lama dari yang aku bayangkan.

Semoga kamu bahagia dan bisa tanpaku, Alya. Meski aku tak lagi ada di sana untuk melihatnya."**

---

Bima meletakkan penanya, merasa sedikit lega setelah menuangkan isi hatinya. Meski ia tahu tulisan ini tak akan mengubah apa pun, setidaknya ia merasa sedikit lebih ringan. Setelah menutup buku itu, Bima menatap langit-langit kamar, berharap suatu hari nanti semua perasaan ini akan benar-benar hilang.

( Pov penulis : Heh reza lo pikir lupain orang tercinta itu mudah , gila lu )
"Melupakan seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidup kita itu bukan perkara mudah. Sebab kenangan tak punya tombol hapus, dan hati tak punya ruang yang benar-benar bisa kosong begitu saja. Ada bagian dari mereka yang terus melekat di sana-dalam tawa yang teringat, dalam tempat-tempat yang pernah kita datangi bersama, dan dalam waktu-waktu hening di mana pikiran tiba-tiba kembali. Melupakan bukan sekadar menghapus, tapi belajar menerima bahwa kehadiran mereka, meski tak lagi nyata, akan selalu ada di sudut hati."

𝐻𝑢𝑟𝑡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang