pertemuan

31 12 0
                                    

"Alya, Ayah sudah mengatur pertemuan dengan Bagas. Dia pria baik dari keluarga yang kita kenal baik juga," ujar Ayah Alya dengan nada tegas tapi penuh harap. Alya hanya menunduk, diam, menahan napas agar tak perlu menjawab. Pikirannya masih terjebak dalam bayang-bayang Bima, membuatnya sulit menerima kenyataan ini.

"Ayah tahu ini mendadak, tapi cobalah, Nak. Untuk kebaikanmu juga. Ayah dan Ibu ingin kamu bahagia," lanjut Ayahnya dengan suara lebih lembut, mencoba menenangkan perasaan putrinya.

Alya hanya mengangguk kecil. Ia tahu tak ada lagi alasan untuk menolak tanpa menambah kekhawatiran di wajah orang tuanya. Meski hatinya berat, ia berusaha menerima kenyataan bahwa hidupnya tak lagi sepenuhnya menjadi miliknya.

---

Ketika tiba di kafe tempat pertemuan, Alya memilih duduk di pojok yang agak jauh dari jendela, sengaja memilih tempat yang tak terlalu mencolok. Ia mengedarkan pandangan dengan bosan, tanpa rasa ingin tahu. Ia sudah tahu siapa yang akan datang-seseorang yang dipilihkan orang tuanya, bukan orang yang ingin ditemuinya.

Tak lama, Bagas datang dengan senyum ramah dan menyapanya. "Halo, Alya," katanya, menyapa dengan sopan sambil duduk di hadapannya.

"Halo," jawab Alya singkat, suaranya hampir datar. Ia menyibukkan diri dengan menatap ke arah lain, sengaja menunjukkan sikap cuek. Hatinya masih dingin dan enggan menerima suasana ini, tak peduli seberapa baik Bagas tampak.

Bagas mencoba memulai obrolan ringan, menceritakan sedikit tentang pekerjaannya, hobinya, dan hal-hal lain untuk mencairkan suasana. Namun, Alya hanya menanggapi dengan senyum tipis atau jawaban singkat, tanpa minat yang jelas. Baginya, pertemuan ini tak lebih dari formalitas, sekadar memenuhi permintaan Ayahnya.

"Kamu sepertinya masih ragu, ya?" tanya Bagas dengan nada lembut, mencoba menangkap perhatian Alya.

Alya hanya mengangguk, tak ingin memberikan jawaban yang panjang. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia belum siap untuk ini, apalagi untuk perasaan baru. Duduk di sini saja sudah cukup melelahkan baginya, seperti berusaha membangun jembatan di atas jurang yang tak pernah ia rencanakan.

Melihat sikap Alya, Bagas tetap tersenyum, berusaha menunjukkan sisi tenangnya. Namun, setiap kali Alya menunjukkan sikap dingin, ia mengalihkan pandangan sejenak dengan tatapan yang tajam, seperti menyimpan ketidaksukaan dalam hatinya yang tidak diperlihatkan secara langsung.

Meski mereka menghabiskan waktu cukup lama di kafe itu, Alya tak merasa lebih dekat atau nyaman dengan Bagas. ,ia hanya ingin cepat-cepat pulang, berharap bisa menghindari percakapan lanjutan tentang pertemuan ini dengan Ayahnya.
Setelah pertemuan yang terasa canggung dan penuh kecanggungan, Alya merasa lega saat akhirnya waktunya untuk pulang tiba. Ia berdiri, siap mengakhiri percakapan itu secepat mungkin.

Namun, sebelum ia melangkah pergi, Bagas tiba-tiba menahan lengannya dengan lembut tapi tegas. "Alya, tunggu sebentar."

Alya sedikit terkejut, lalu menoleh. "Ada apa?"

"Boleh minta nomor telepon kamu? Biar kita bisa tetap komunikasi," ucap Bagas, senyum masih menghiasi wajahnya, meski terlihat sedikit memaksa.

Alya sebenarnya ragu, tapi ia tahu menolak di saat seperti ini akan menimbulkan kecurigaan. Lagipula, ia tak ingin memperumit situasi yang sudah rumit ini. Dengan sedikit enggan, ia pun memberikan nomor teleponnya.

"Terima kasih, Alya. Semoga kita bisa saling kenal lebih baik," kata Bagas dengan nada seolah penuh pengertian, meski ada tatapan yang agak menekan di balik senyumnya.

Alya hanya mengangguk kecil sebelum pamit dan segera pergi. Sesampainya di rumah, ia merasa lelah dan mencoba untuk melupakan pertemuan tadi. Namun, tak lama kemudian, notifikasi WhatsApp muncul di ponselnya.

[WhatsApp Chat]

Bagas: Hai, Alya. Ini aku, Bagas.

Alya: Ya


Bagas: Kamu kayaknya masih agak canggung, ya? Mungkin masih butuh waktu buat menyesuaikan diri.

Alya: Iya, mungkin.

Bagas: Gapapa kok, Alya. Aku akan sabar nunggu sampai kamu siap. Lagipula, kita punya banyak waktu.

Alya terdiam sejenak, membaca pesan terakhir Bagas dengan perasaan tak nyaman. Ia merasa tekanan terselubung di balik kata-katanya yang tampak santai.

Bagas: Oh ya, boleh aku minta kamu save nomor aku? Biar kalau perlu apa-apa gampang kontaknya.

Alya: Iya, nanti aku save.

Bagas: Terima kasih. Aku senang kamu mau mengenalku, Alya.

Alya membalas dengan singkat, kemudian mengakhiri obrolan malam itu. Meskipun ia merasa lelah, perasaannya malah semakin tak nyaman setelah membaca chat Bagas. Ada sesuatu yang membuatnya merasa seperti diawasi, meski hanya dari pesan singkat itu. Namun, demi ketenangan Ayahnya, Alya mencoba untuk mengabaikan perasaannya sendiri.

(Di meja itu, Alya hadir dengan raga, tapi hatinya entah di mana-mendengarkan tanpa benar-benar peduli, berbicara tanpa niat mengenal.")

"Terkadang, pertemuan hanyalah rutinitas, bukan ketulusan."

Bersambung........

𝐻𝑢𝑟𝑡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang