sisa rasa

42 12 0
                                    

Alya sedang duduk termenung di ruang tamu ketika bel rumahnya berbunyi. Suara itu mengusiknya dari lamunan yang terasa berat, penuh kenangan yang ia coba sembunyikan. Dengan enggan, ia bangkit dan membuka pintu, mendapati seorang tukang paket berdiri di depan rumahnya dengan sebuah kotak kecil di tangan.

"Selamat sore, ada paket untuk Mbak Alya," ujar tukang paket itu dengan senyum ramah.

Alya terkejut, tak ingat pernah memesan apa pun. Setelah menandatangani tanda terima, ia mengambil kotak itu dan melihat nama pengirimnya. Jantungnya berdegup kencang saat membaca nama yang tertera: Bima.

Tanpa menunggu lama, Alya bergegas kembali ke dalam rumah, menutup pintu, dan duduk di sofa sambil memegang kotak itu dengan hati-hati, seakan isinya begitu rapuh. Tangannya gemetar saat mulai membuka bungkusnya, dan di dalamnya, ia menemukan sebuah amplop putih dan sebuah buku berwarna biru tua. Ia menatap buku itu dengan perasaan yang campur aduk, lalu beralih membuka amplop yang berisi sepucuk surat.

"Alya," tulis Bima di awal surat, kalimatnya sederhana namun sarat makna yang tak terungkap.

"Aku tahu, mungkin ini adalah cara terakhirku menyampaikan apa yang kurasakan. Kata-kata tak akan cukup, tapi izinkan aku meninggalkan sepotong perasaanku di sini, agar kamu tahu betapa aku menghargai setiap waktu yang kita habiskan bersama. Ini bukan sekadar perpisahan, tapi juga bentuk rasa syukurku karena pernah memilikimu, walau hanya sejenak."

Alya menarik napas panjang, menahan rasa perih yang semakin menyesakkan dadanya. Ia melanjutkan membaca, merasakan setiap kata yang Bima tulis dengan hati-hati, seakan bisa mendengar suaranya mengucapkan kalimat itu di sampingnya.

"Aku titipkan buku ini untukmu, Alya. Saat hatimu terluka atau kenangan kita kembali menghampiri, isilah buku ini. Aku ingin kamu tahu, buku ini bukan hanya untuk mencatat kesedihan, tapi juga untuk menemanimu di saat-saat dunia terasa terlalu berat. Setiap kali kamu merasa rindu atau kehilangan arah, tulislah di sana, seolah aku masih ada di sampingmu."

Di akhir surat, Bima menambahkan pesan yang menghantam hati Alya begitu dalam.

"Jika suatu saat kita bertemu kembali, aku ingin membaca buku ini, ingin tahu bagaimana perasaanmu selama kita berpisah. Aku berharap, pada saat itu, kita sudah bisa tersenyum pada semua luka yang kini kita bawa."

Alya meremas surat itu di dadanya, berusaha menahan air mata yang tak terbendung. Buku biru tua itu kini menjadi satu-satunya penghubung antara mereka, tempat ia bisa menumpahkan sisa-sisa perasaan yang masih ada.

Dengan tangan gemetar, Alya membuka halaman pertama buku itu dan mulai menulis kata-kata pertama yang terpikir olehnya.

"Bima, aku tak tahu kapan aku bisa sembuh dari semua ini. Tapi aku berjanji, setiap kali aku merasa lelah atau kesepian, aku akan kembali ke buku ini, seolah kamu ada di sini, mendengarkan setiap keluh kesahku."

("Mengapa harus lewat kata-kata di atas kertas, bukan tatapan dan suara? Mengapa harus melalui halaman kosong ini, bukan tanganmu yang kugenggam)

𝐻𝑢𝑟𝑡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang