perjodohan

40 12 1
                                    

Alya termenung di kamar, merenungkan kata-kata yang baru saja diucapkan orang tuanya. Perjodohan. Kata itu menggema dalam pikirannya, meninggalkan jejak berat di hatinya yang masih hancur karena kepergian Bima. Bagaimana mungkin mereka begitu cepat mengatur hidupnya? Tidak adakah waktu bagi Alya untuk merasakan kesedihannya sendiri?

Di ruang keluarga, kedua orang tuanya sudah mengambil keputusan. Mereka ingin memperkenalkannya pada seseorang bernama Bagas, anak dari keluarga terpandang yang masih memiliki hubungan bisnis dengan ayahnya. Ibu Alya dengan penuh keyakinan berkata bahwa Bagas adalah pria yang baik, calon yang cocok, seseorang yang bisa diandalkan untuk masa depan. Namun, bagi Alya, semua pujian itu tidak berarti apa-apa. Bagaimana ia bisa melangkah ke depan jika hatinya masih tertinggal bersama Bima?

"Alya, Ibu cuma ingin kamu bahagia," ucap ibunya, suaranya penuh nada permohonan. "Bagas itu pria yang dewasa dan bertanggung jawab. Kamu bisa memulai lembaran baru bersamanya."

Alya menatap ibunya tanpa sepatah kata pun. Setiap nasihat yang diberikan justru membuat dadanya terasa semakin sesak. Ia tahu bahwa orang tuanya peduli padanya, tapi mereka tak memahami perasaan yang kini bergolak dalam dirinya. Ia merasa seperti seseorang yang dipaksa meninggalkan mimpi di tengah jalan, tanpa pernah benar-benar memiliki kesempatan untuk meraihnya.

Ayah Alya, yang biasanya tegas, tampak lebih lunak malam itu. "Kami hanya ingin yang terbaik buat kamu, Alya," katanya dengan suara lembut namun penuh harapan. "Kami ingin melihatmu bahagia, dengan seseorang yang bisa menjaga dan mendukungmu."

Alya merasakan air mata menggenang di sudut matanya. Perasaannya bimbang, antara mencoba mengerti harapan orang tuanya dan mengakui kerapuhannya sendiri. Dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa perasaan pada Bima masih begitu kuat. Namun, ia juga tahu bahwa hidupnya tak bisa berhenti hanya karena masa lalu yang tak bisa ia genggam lagi.

Setelah terdiam cukup lama, Alya akhirnya memberanikan diri menyampaikan permintaan kepada orang tuanya. "Ayah, Ibu... kalau memang kalian ingin aku menerima perjodohan ini, beri aku waktu untuk mengenalnya lebih dulu. Aku ingin memastikan apakah dia... bisa menjadi bagian dari hidupku."

Orang tuanya tampak sedikit terkejut mendengar permintaannya, tetapi mereka segera mengangguk setuju. Mereka memahami bahwa Alya membutuhkan waktu. Ayahnya, sambil menepuk pundaknya, berkata dengan lembut, "Satu bulan, Alya. Setelah itu, kami ingin kamu membuat keputusan."

Dengan hati yang tak menentu, Alya menyetujui kesepakatan itu. Baginya, ini adalah kesempatan terakhir untuk memahami perasaannya sendiri dan melihat apakah ia bisa membuka hati bagi seseorang yang baru.

Malam itu, dalam kesunyian kamar, Alya meraih buku biru yang dulu diberikan oleh Bima. Buku yang selama ini menjadi saksi bisu segala perasaan dan kenangannya. Dengan pena di tangannya, ia mulai menulis kata-kata yang tak mampu ia ucapkan. Menulis di buku itu seolah menghadirkan kembali kehangatan Bima, meski hanya sebatas tinta di atas kertas.

---

"Bima, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Hari ini, orang tuaku bicara tentang perjodohan. Mereka bilang ini demi masa depanku. Demi kebahagiaanku. Tapi bagaimana bisa bahagia jika setiap ingatan, setiap kenangan, masih penuh olehmu?"

"Mereka ingin aku mengenalnya, tapi aku bahkan tak tahu apakah hati ini mampu membuka pintu bagi orang lain. Kamu adalah bagian dari hidupku yang tak bisa tergantikan, Bima."

"Aku tahu, mungkin ini jalan terbaik untuk semua orang, tapi entah bagaimana aku masih merasa... aku kehilangan sesuatu yang tak pernah benar-benar bisa aku lupakan."

---

Alya menutup bukunya, air matanya mengalir pelan di pipinya. Ia tahu bahwa menulis di buku itu tidak akan mengembalikan Bima. Namun, setidaknya menuliskan perasaannya di sana memberinya sedikit ruang untuk melepaskan apa yang ada di hatinya. Sebelum tidur, ia menatap buku biru itu dengan penuh rasa kehilangan, berharap ia bisa mengumpulkan keberanian untuk menghadapi hari-hari yang akan datang.

("Mungkin, aku harus melangkah. Tapi, bagaimana caranya melangkah ketika setiap jejak yang kutinggalkan selalu mengarah kembali padamu?")

𝐻𝑢𝑟𝑡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang