Bagaimana mulanya? Mungkin saat pertama kali dua iris hitam Sasuke menemukan sepasang mata berwarna keunguan itu, yang juga menatapnya penuh-penuh. Pertama kalinya Sasuke secara dekat bertemu manusia. Sejak dulu, entah sebagaimana begitu saja ia tumbuh besar menjadi setengah serigala dan manusia. Awalnya hanya hidup mengikuti insting hewannya. Diam-diam mengamati dan memperhatikan tingkah laku manusia di sekitarnya di balik semak-semak hutan. Seolah seperti terbuang, Sasuke belum pernah menemukan makhluk yang sejenisnya di tempat ia berpijak. Maksudnya, tidak ada keluarga, kerabat, maupun saudara. Kecuali, perkumpulan serigala yang memang benar-benar serigala, tidak sepertinya yang bisa berubah menjadi manusia. Ajaibnya ia bahkan memahami bahasa manusia serta menirunya. Seolah-olah ia memang sudah tercipta dengan otak berbakat.
Pertemuan yang dimulai dari; "Anjing kecil. Kau terluka ya? Iya?" Kalimat pertanyaan polos Hinata. Pelukannya sangat hangat, meski gadis itu amatlah kecil. Hinata menyengir lebar. "Jadi peliharaanku ya, aku tidak punya peliharaan di rumah. Sakura dan Tenten sudah punya peliharaan sendiri. Tapi, aku belum." Sasuke tertegun mendapati seorang manusia tersenyum setulus seperti Hinata dengan semua kejujurannya. Ia hanya merasa asing dan tidak memahami.
Sulit bagi Sasuke untuk hidup menyesuaikan kehidupan manusia. Mengenal berbagai macam kebutuhan, perasaan, emosi, dan bersikap sewajarnya. Tetapi, memperhatikan bagaimana setiap hari aktivitas Hinata, Sasuke mulai memahami hal-hal tertentu. Puncaknya adalah hari upacara penumbalan gadis itu.
Sasuke ditakdirkan sebagai pemimpin pada kelompok serigalanya. Setiap perintah yang ia lolongkan, dipatuhi secara mutlak. Kealphanya tak diragukan mengalir deras dalam setiap sel darah. Meski Sasuke masih tidak tahu asal-usul kehadirannya, ia menarik kesimpulan bahwa, ia bebas memilih hidup menjadi apa.
Hinata merupakan alasan Sasuke bersikap baik, siap melakukan apapun sesuai perintah. Setiap prilaku yang dilakukan gadis itu, terasa manis baginya. Masa kecil, remaja, sampai beranjak umur 16 tahunnya, semua tentang diri gadis itu selalu mengambil kontrol kewarasannya, kepintarannya, dan kekuatannya.
Sasuke tidak peduli bila harus menyingkirkan orangtua Hinata. Namun, bila dengan demikian Hinata berangsur terus-menerus terselimuti kesedihan, Sasuke selalu menahan diri. Pun kepala suku maupun penduduk desa Haphaestus. Tidak masuk akal dewa langit yang mereka puja itu, Sasuke sama sekali tidak mempercayainya. Dan, tidak masuk akal mengenai penumbalan, pengorbanan, ataupun adat istiadat itu.
Sasuke sudah merencanakan keselamatan Hinata. Nyawanya tertolong. Tidak ada hal paling membanggakan di hidup Sasuke selain tahu bahwa Hinata hidup. Lelaki itu pula tidak pernah keberatan tentang kebohongan pernikahan, menghargai penduduk desa Apolonio, ataupun belajar memadu kasih. Sekalipun tidak. Hinata bahkan menerimanya dengan tangan terbuka. Tidak mempedulikan apakah ia manusia ataupun serigala. Itu sudah cukup. Sasuke sudah bahagia.
"Aku akan membuangnya," ujar Hinata selanjutnya tanpa keraguan, melirik Sasuke dengan ekor mata kosong. "Aku tidak akan kabur lagi."
Sasuke adalah api, sementara Hinata seperti bensin yang sengaja membakarnya hingga tidak tersisa sedikit pun rencana cadangan. Sasuke hilang kendali mirip meriam lepas. Meledak dan kacau. "KUBILANG APA YANG KAU LAKUKAN?!" Sasuke kembali berteriak, mengguncang tubuh Hinata menghadap padanya. "JAWAB!" paksanya tidak terima. Sudahkah Sasuke beritahu bahwa sulit baginya beradaptasi di hidup manusia? Ia tidak mengetahui perasaan dan emosi tertentu. Ia tidak bisa mengolah bentuk-bentuk perasaan dan emosi itu. Menarik Hinata dan meremukannya dalam sekali dekapan ialah satu-satunya yang diinginkan Sasuke detik itu. Agar gadisnya tidak lari.
Kenapa Hinata harus peduli pada dua tawanan itu? Apakah dirinya saja belum cukup?
Pikiran Sasuke terbuyarkan setelah tombak besar Haphaestus berayun menghunus punggung Sasuke menembus perut bagian atas. Darah memuncrat dari lubang tubuhnya. Proses menyakitkan itu berhasil membuat Sasuke berteriak penuh kesakitan dan rintihan. Suara mengerikannya mengudara menyerupai monster. Monster yang sebentar lagi akan mati. Satu nama yang selalu ia sebut, mengalir dan bergumam dalam setiap jatungnya berdetak. "Hinata..." Hidupnya, napasnya, nadinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Sky
FanfictionDetik berubah menjadi menit menuju jam kemudian hari lalu minggu dan bulan, tahun berganti, langit masih berwarna biru, meski Hinata diharuskan menjadi tumbal bagi desa agar musim kemarau segera berakhir. "Bunuh perempuan itu!" sasuhina fantasi artn...