01. Desa Haphaestus

2.9K 247 22
                                    

Haphaestus, sebuah desa yang hidup beratus tahun yang lalu. Kehidupan aman dan tentram disertai warna langit biru yang menawan. Di setiap orang diperbolehkan memiliki peliharaan, entah itu, sapi, kerbau, anjing, harimau atau lainnya, asal tidak membahayakan. Di desa ini, untuk memenuhi kebutuhan setiap individu, mereka menggunakan sistem tukar-menukar barang. Tak ada keping emas maupun uang kertas.

Haphaestus masih dikelilingi hutan lebat, pepohonan tinggi juga tumbuhan berkhasiat lainnya. Tanahnya subur, memiliki semacam waduk buatan untuk menampung air hujan jikalau terjadinya musim kemarau. Haphaestus juga memiliki bebarapa adat istiadat, mengingat desa tersebut masih kental akan kepercayaan nenek moyang terdahulu. Desa itu juga memiliki kepala suku yang dipercayai sebagai titisan dewa.

Hinata mengikat kayu bakar yang sudah dirinya kumpulkan untuk ditukarkan dengan seekor ayam. Rambutnya tergerai pendek, tubuhnya terbalut pakaian tradisional. Senyumnya merekah. "Akan kutunjukan pada Kaa-san, bahwa aku juga bisa memberikannya seekor ayam betina!" ujarnya antusias. Umurnya menginjak dua belas tahun. Irisnya perak keunguan bermarga Hyuuga. Keturunan yang diandalkan oleh desa Haphaestus sebagai tabib.

Hinata menoleh cepat ketika mendengar suara berisik yang timbul dari semak-semak. Matanya menajam. Oh jangan remehkan Hinata, dirinya tidak takut oleh binatang buas, Hikari pernah memberikannya pisau kayu yang sudah terlumuri racun. Terlebih, gadis berambut indigo itu pandai membela diri meski terlahir sebagai perempuan. Suasana hutan berubah kembali hening. Hinata mulai melanjutkan kegiatannya yang tertunda.

Menit berlalu, suara yang timbul semakin keras. Hinata berdiri. Menggendong kayu bakarnya di punggung, lalu bersiaga. Matanya nyalang, alisnya bertaut. Tak ada yang ditakutkan oleh Hinata kecuali wajah si kepala suku yang seram di desanya itu! Hinata mendekati arah suara. Alangkah terkejutnya ia ketika menemukan anjing liar terlumuri darah. Hinata mengerjap. Napasnya terhembus lega. Hinata sempat berpikir ia akan menemukan seekor ular raksasa.

"Anjing kecil. Kau terluka ya? Iya?" Hinata bersimpati, keberatan akibat ranting kayu besar dipunggungnya, Hinata melepaskan gendongan tersebut. Ia menghampiri hewan berbulu abu-abu putih yang cukup-sangat-amat sangat-besar dibanding tubuh mungilnya. Hinata mengusap bulunya pelan yang dibalas geraman kemarahan, giginya besar dan putih, Bulunya lembut. Hinata menyengir. "Jadi peliharaanku ya, aku tidak punya peliharaan di rumah. Sakura dan Tenten sudah punya peliharaan sendiri. Tapi, aku belum." Hinata bercerita, meski tahu tak akan ada balasan.

Hinata kembali berdiri, ia memotong satu pohon berbambu yang memiliki air jernih di dalamnya, menggunakan pisau yang dirinya gunakan tadi untuk memotong kayu bakar, ia membersihkan darah hewan berbulu itu terlebih dahulu agar tidak menimbulkan infeksi. Kemudian, Hinata menarik tanaman hijau disampingnya, menggerusnya menggunakan batu---yang sudah dibersihkan juga---sampai mengeluarkan cairan kemerahan. Setelah selesai, Hinata menatap iris hitam hewan itu dengan lekat. "Cepat sembuh, Sasuke." Lalu, Hinata kembali menyengir.

Sasuke. Itu nama yang tertera dari kalung yang dipakai serigala itu. Hinata bisa membacanya---tentu saja---Haphaestus memiliki warga yang berilmu baca yang diharuskan oleh kepala suku.

Selanjutnya, setelah selesai membalut lukanya, Hinata menuntun hewan peliharaannya yang entah mengapa lebih pendiam tanpa geraman atau sorot mengancam untuk pergi pulang ke rumah. Tak mau berpikir lebih lanjut, apa lagi berpikir itu melelahkan, Hinata memilih tetap berjalan membawa anjingnya.

Tersenyum lebar, Hinata mengetuk pintu senang. "Kaa-san! Kaa-san! Hinata bawa peliharaan!"

Hikari membuka pintu, irisnya melotot. "Dia serigala hutan, Hinata!" pekiknya tak habis pikir menemukan tingkah Hinata yang satu ini. Bagaimana mungkin Hinata dua belas tahun membawa serigala tanpa takut akan diterkam?

Blue SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang