Dulu, kelahiran Hinata yang paling ditunggu-tunggu. Hikari bahagia, ketika pernikahannya memasuki tahun ketiga, Hinata lahir sebagai cahaya dalam keluarga Hyuuga. Gadis cantik pemilik rambut indigo dengan kulit kemerahan yang lembut. Hikari menyayanginya---ralat mencintainya. Anaknya yang berpipi bulat dan mata besar disertai sifat nakal. Hinata Hyuuga, anak perempuan kebanggaannya.
Walau banyak rintangan yang Hikari hadapi ketika pembukaan persalinan. Hikari tetap mencoba kuat meski napasnya terasa pendek disertai mata yang nyaris tertutup. Persalinan Hikari begitu amat sederhana, alat seadanya lalu ditemani satu wanita tua yang dipercayai sebagai dukun beranak. Hikari bahagia bisa melewati masa menyakitkan itu. Perutnya terasa tersobek, perjuangannya begitu hebat, kelahiran bayi mungil itu begitu diharapkan. Hikari masih mengingat jelas bagaimana penderitaannya di kala itu.
Satu tetesan air mata turun, hingga hitungan yang entah ke berapa kalinya. Hikari mengecup kening Hinata, kondisi gadis itu sudah lebih baik, hanya saja, tubuhnya tidak sekuat dulu, masih lemah dan tak bertenaga.
Anaknya....
Hinata tersenyum lebar. Senyum yang malah membuat Hikari merasa hancur tak bersisa. "Kaa-san... sudah... demamku, sudah turun... tidak perlu menangis lagi."
Hikari kembali menangis. Matanya bengkak memerah, pipinya lebih kurus, dan bibir memutih. Hikari turut tersiksa. Matanya berembun. "Hinata---"
"Silahkan diminum." Satu penduduk desa yang dipercayai kepala suku memberi ramuan hitam, berada di antara percakapan Hikari dan Hinata. Berdiri membungkuk sopan menghormati dua orang itu. Ia diperintahkan menjaga dan memastikan sendiri Hinata meminum obat khusus yang dibuatkan kepala suku. Hinata sudah diberitahu akan ditumbalkan, Hinata tidak pernah memasang wajah sedih. Ia tetap menerima dengan cengiran khasnya.
Penduduk desa percaya, ramuan yang dibuatkan kepala suku adalah ramuan untuk penghilang rasa sakit sehingga ketika ditumbalkan, Hinata takkan merasa sakit meski terbakar oleh api. Jika salah satu di antara kalian menanyakan keberadaan Hiashi. Kepala keluarga itu sedang menjalani masa hukuman. Ia dikurung di ruangan tertutup tanpa diperbolehkan melihat Hinata di hari-hari menuju penumbalannya. Hikari berbeda, ia perempuan sekaligus ibu kandung Hinata, maka dari itu kepala suku masih memperbolehkan Hikari merawat Hinata.
Hinata mengangguk. Perkataan Hikari terpotong tanpa bisa diselesaikan. Hikari menunjukkan wajah masam. "Maafkan Kaa-san, Hinata."
Hinata menggeleng, senyumnya melebar tanpa paksaan. Tangannya terulur, lalu meneguk habis ramuan yang diberikan pesuruh kepala suku itu. Matanya terpejam, ah ramuannya pahit sekali, sedetik setelahnya kelopak gadis itu kembali terbuka. "Aku sayang Kaa-san."
Tangis Hikari tak terbendung.
Pada akhirnya, upacara penumbalan itu datang.
Upacara sudah bisa dimulai. Penduduk desa mempersiapkan semuanya dengan begitu baik. Mereka berkumpul di kala langit biru sedang begitu terik. Panasnya bahkan membuat siapa pun berkeringat. Hinata merasa dirinya semakin lemas tak bertenaga, perutnya mengurus disertai lingkaran hitam di kedua mata. Hinata berdiri di antara dua orang memegang obor api. Kepala suku duduk mulai mengeluarkan mantera, memohon pada kepercayaannya agar segera diturunkan hujan.
Langit masih saja berwarna biru, masih indah tanpa mempedulikan penderitaan yang dialami oleh gadis sok baik-baik saja itu. Hinata menelan ludah. Aroma bunga dan minyak tanah tercium di indranya. Hinata tersenyum yang menunjukkan baik-baik saja, saat Hikari sudah jatuh terduduk menangis meratapi penumbalannya. Iris Hinata bergerak menatap langit sejenak.
Apa ... pertolongan itu akan datang seperti keajaiban?
Orang-orang tak ada yang berani mengeluarkan suara, mereka dipenuhi rasa ketakutan. Suara syahdu kepala suku terdengar samar. Mereka memperhatikan Hinata yang mulai akan dimandikan minyak tanah bercampur bunga melati khas Haphaestus. Karena setelah dimandikan, Hinata hanya perlu berbaring di tempat khusus, lalu dibakar menggunakan obor yang dibawa salah satu penduduk desa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Sky
Fiksi PenggemarDetik berubah menjadi menit menuju jam kemudian hari lalu minggu dan bulan, tahun berganti, langit masih berwarna biru, meski Hinata diharuskan menjadi tumbal bagi desa agar musim kemarau segera berakhir. "Bunuh perempuan itu!" sasuhina fantasi artn...