Valen menikmati hari santainya kali ini. Tidak ada laporan, keluhan, atau permasalahan kerajaan yang memerlukan perhatiannya. Dia berjalan santai melewati lorong-lorong istana dalam pakaian yang jarang terlihat—hanya mengenakan celana pendek dengan jubah berbulu yang menutupi hingga lututnya. Kakinya yang tanpa sandal menyentuh lantai dingin istana di jam yang bahkan masih terlalu pagi bagi para pelayan atau pejabat istana untuk terjaga. Pukul empat pagi, suasana istana sangat hening. Beberapa prajurit yang bertugas di pintu kerajaan menundukkan kepala mereka hormat saat Valen lewat, meski wajah mereka tampak terkejut melihat raja dalam keadaan seperti itu.
Kedekatan Valen dan Livius sudah menjadi bisikan di antara prajurit istana. Beberapa mendukung dan mengagumi Valen karena keberanian dan ketulusannya, sementara yang lain diam-diam memandang dengan tidak suka. Namun, Valen tidak memedulikan pandangan orang lain. Yang ada dalam pikirannya hanyalah menikmati pagi yang sunyi ini.
Setelah beberapa saat duduk di balkon menghadap taman, Valen merasa bosan. Kursi di balkon itu awalnya basah oleh embun, namun segera mengering saat ia mendudukinya. Merasa kesepian, Valen beranjak dari balkon dan memutuskan untuk mengunjungi ruang besar yang ditempati para prajurit. Lorong-lorong istana yang sepi mengantar Valen menuju ruangan tersebut, di mana terdapat puluhan kamar berderet. Setiap kamar diisi oleh dua hingga tiga prajurit.
Setibanya di kamar Livius, Valen berjalan pelan, mengintip tiap kasur satu per satu. Ia tidak menemukan Livius di dua kasur pertama dan melanjutkan langkahnya ke ujung kamar. Akhirnya, ia melihat Livius tengah tertidur lelap, tampak damai dan nyenyak. Tanpa pikir panjang, Valen dengan hati-hati berbaring di samping Livius, yang tidurnya cukup ringan sehingga langsung terbangun ketika merasakan kehadiran di sampingnya.
Livius membuka matanya dengan terkejut dan langsung duduk, menatap Valen yang tersenyum sambil melambaikan tangannya pelan.
“Apa yang sedang anda lakukan, Yang mulia?” tanya Livius dengan nada terkejut namun berusaha tetap tenang.
Valen masih berbaring dengan tenang sambil memandang Livius, “Aku ingin tidur di sini. Apa boleh?” tanyanya santai sambil memandang Livius penuh harap. “Livius, selimutnya, tolong.”
Dengan ragu dan canggung, Livius menarik selimutnya, menutup tubuh Valen hingga setengahnya. Valen yang keras kepala meminta Livius untuk ikut berbaring. Meski detak jantungnya terasa lebih cepat, Livius tidak kuasa menolak keinginan rajanya, dan akhirnya ia ikut berbaring. Saat Livius sudah berbaring, Valen mendekat dan tiba-tiba memeluk Livius, menelusupkan wajahnya ke dada Livius, mencari kenyamanan dalam kehangatan yang ia temukan di sana. Livius, yang awalnya canggung, perlahan-lahan mulai merasa nyaman dan akhirnya tertidur kembali.
---
Ketika fajar mulai menyingsing, pukul lima pagi, para prajurit dan pelayan mulai bangun dan memulai aktivitas mereka. Suasana yang tenang mendadak pecah ketika terdengar suara teriakan dari Maestro dan Sir Gideon yang memergoki sang raja tidur bersama Livius. Suara mereka yang keras membuat Livius terbangun, terkejut melihat beberapa prajurit lain menatap mereka dengan ekspresi penuh kemarahan. Namun, Livius sudah memperkirakan bahwa hal seperti ini mungkin terjadi. Tetap tenang, ia mencoba untuk melepaskan pelukan Valen, namun usahanya terhambat karena Valen yang masih setengah tertidur malah merengkuh lebih erat, merengek layaknya anak kecil.
“Panggilkan Lady Amelia, Maestro,” perintah Valen dengan suara pelan namun tegas, yang membuat Maestro dan beberapa prajurit langsung menurut, meskipun terlihat bingung dan enggan meninggalkan tempat mereka.
Tak lama kemudian, Lady Amelia tiba. Tatapannya terkejut saat melihat situasi yang tidak biasa itu. Para prajurit lain pun tidak bergerak, bahkan sebagian tampak gugup, takut Livius akan mencelakai raja mereka.
Valen menatap Lady Amelia dan berkata dengan nada tegas, “Lady, tanpa aku berbicara mungkin kau sudah tahu apa keinginan ku.” Suaranya jelas-jelas perintah tanpa bantahan. Dengan enggan, Lady Amelia mematuhi Valen, mengusir para prajurit keluar dan mengosongkan kamar.
Ketika suasana kembali tenang dan kamar kosong dari keramaian, Valen membuka matanya dan tersenyum lebar ke arah Livius yang kini lebih rileks daripada sebelumnya. Senyum itu begitu lembut dan hangat, membuat Livius ikut tersenyum, bahkan merasa sedikit lebih nyaman.
Livius yang mulai mengendurkan ketegangannya mencoba menggoda, “Selamat pagi Yang mulia, apakah anda tidur dengan nyenyak dalam pelukan saya?”
Valen tertawa kecil, suara tawanya manis dan mengundang perasaan hangat dalam diri Livius. “Lebih nyaman dari yang kubayangkan,” balas Valen sambil menepuk pelan bahu Livius.
Setelah beberapa saat bercanda dan tertawa, keduanya beranjak keluar kamar. Valen berjalan di depan dengan percaya diri, sementara Livius mengikuti di belakangnya. Tatapan para prajurit terhadap Livius jelas terasa berbeda, sebagian bahkan memandangnya dengan tidak suka. Menyadari hal itu, Valen berhenti sejenak dan menatap prajurit-prajurit tersebut dengan tajam.
“Jaga pandangan kalian sebelum aku tusuk satu persatu mata kalian” ujar Valen dengan suara penuh kewibawaan. “Aku sendiri yang memeluknya tadi pagi ”
Tatapan raja yang tegas membuat semua orang tersadar bahwa Valen benar-benar serius dengan ucapannya. Para prajurit terdiam, tidak berani membantah, hanya menundukkan kepala sebagai bentuk hormat. Livius yang mendengar itu merasa sedikit tersentuh, namun tetap berusaha menjaga wajahnya tetap tenang.
Valen lalu melanjutkan langkahnya menuju aula istana. Sesampainya di aula, ia mengajak Livius untuk duduk di salah satu bangku taman yang berada di dalam istana. Di sana, keduanya berbincang santai sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Valen menatap Livius dengan penuh perhatian, wajahnya menunjukkan kehangatan dan kepercayaan yang mendalam.
“Hari ini mungkin bisa jadi hari sejarah, sebab aku tidak pernah merasa se senang ini” ucap Valen pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Livius tersenyum kecil, “Saya ikut senang jika anda sedang berada dalam masa senang. Jika Yang mulia tidak keberatan, aku bisa terus menerus membuat anda senang.”
Valen tertawa lagi, kali ini dengan tawa yang lebih renyah. “Aku akan mengambil tawaran itu,” ujarnya penuh keseriusan yang diselimuti canda. Mereka berdua terus berbincang hingga matahari mulai menyinari istana, dan Valen tampak lebih bahagia dari biasanya.
Momen-momen seperti ini memberi Valen kedamaian yang ia butuhkan di tengah tekanan sebagai raja. Hari itu, ia benar-benar merasa bahwa Livius bukan hanya seorang prajurit setia, melainkan sosok yang membawa kehangatan dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VALEN (Markhyuck)
FantasyDi tengah megahnya kerajaan, Raja Valen memimpin dengan keanggunan yang luar biasa-dengan pakaian layaknya seorang ratu, ia duduk di singgasananya, dihormati bahkan oleh orang tuanya sendiri. Namun, hatinya bergejolak pada prajuritnya sendiri, Liviu...