Malam itu, istana Alexandria dipenuhi dengan sorak-sorai dan gemerlap cahaya. Raja dan Ratu Alexandria—orang tua Valen—mengadakan perjamuan besar-besaran untuk merayakan pencapaian panjang dalam pemerintahannya. Undangan dari berbagai kerajaan tetangga telah memenuhi aula utama, diiringi oleh alunan musik yang mengalir dari segala sudut istana. Tapi, bagi Valen, kemeriahan ini hanya menambah keinginannya untuk menjauh sejenak.Dengan hati-hati, ia melangkah ke istana kecil di belakang istana utama, tempat ia bisa menikmati kesunyian yang ia dambakan. Sayangnya, Lady Amelia yang biasanya mendampinginya sedang sibuk membantu acara besar-besaran itu. Maka, hanya satu orang yang menemaninya malam ini—Livius.
Setibanya di istana kecil itu, Valen memandang sekeliling dengan perasaan lega. Tanpa pesta yang hiruk pikuk, ia bisa benar-benar bersantai. Perutnya yang kosong mengingatkan ia bahwa ia belum makan sejak siang, jadi Valen memutuskan untuk memasak sesuatu untuk dirinya sendiri.
Di dapur kecil yang sederhana namun bersih, Valen mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat hidangan ringan. Livius tetap berdiri tegap di dekat pintu dapur, memperhatikan Valen yang sibuk memotong sayuran dan meracik bumbu. Meskipun biasanya ia selalu serius menjalankan tugasnya, kali ini ia sedikit tertegun melihat sisi sederhana Valen yang jarang terlihat—seorang raja yang rela memasak sendiri di tengah malam.
Setelah selesai, Valen melepaskan jubahnya, menyisakan pakaian yang lebih santai, gaun sederhana berwarna hitam yang sedikit di atas lutut. Tanpa sadar, penampilan itu menarik perhatian Livius, yang hanya bisa menelan ludah pelan saat pandangannya bertemu dengan betis Valen yang terlihat jelas di bawah gaun. Namun, ia segera mengalihkan pandangan, berusaha mengendalikan pikirannya.
“Livius, kau pergi duluan saja ke ruang tengah. Aku akan menyusul mu nanti,” ujar Valen dengan santai, sambil tersenyum tipis.
Livius mengangguk, lalu berjalan ke ruang tengah. Ia duduk dengan sikap yang tetap waspada, menatap ruangan yang diterangi oleh lampu-lampu kecil yang memberi suasana hangat dan intim.
Tak lama kemudian, Valen masuk dengan membawa nampan berisi makanannya dan duduk di sofa yang berhadapan dengan Livius. Ketika Valen duduk, gaunnya tersingkap sedikit, menampakkan pahanya yang ramping. Livius merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mencoba tak melihat, tapi pandangannya terus tertarik ke arah kaki Valen.
Merasa canggung, Livius akhirnya mengambil bantal kecil di sampingnya dan menutup paha Valen dengan bantal itu. Valen mengernyit melihat gerakan Livius, lalu menatapnya sambil menyunggingkan senyum jahil.
“Kenapa paha ku di tutup Livius?” tanya Valen dengan nada menggoda.
Livius hanya menggeleng, wajahnya memerah. “Saya tidak berhak melihat sesuatu yang... canti-- selalu anda tutup, Yang mulia.”
Valen tertawa kecil mendengar jawaban Livius yang terlihat gugup. Ia menyadari bagaimana sang penjaga mulai menunjukkan reaksi yang berbeda terhadapnya. Sambil menyuapkan makanan ke mulutnya, Valen terus memperhatikan Livius, mencari celah untuk menggoda lebih jauh.
Setelah beberapa gigitan, Valen tiba-tiba mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Livius, sengaja membuat jarak di antara mereka semakin pendek. “Kau tahu, Livius, aku tidak pernah melihat mu menggunakan baju santai. Apakah kau tidak merasa berat menggunakan pakaian seperti setiap hari?”
Livius menatap Valen sejenak, lalu menunduk. “Tidak Yang mulia. Sudah menjadi tugas saya untuk tetap menggunakan pakaian seperti ini.”
“Tapi disini kita hanya berdua, Aku tidak butuh penjagaan malam ini. Bersantai lah sedikit Livius” Valen tersenyum jahil, menyandarkan kepalanya di bahu Livius tanpa menunggu jawaban.
Livius terdiam, merasa jantungnya semakin berdegup kencang. Kehangatan kepala Valen di pundaknya terasa nyaman namun membuat pikirannya tak karuan. Namun, ia tak berani bergerak, takut membangunkan Valen yang tampak mulai mengantuk. Sesaat kemudian, Valen benar-benar tertidur, napasnya yang lembut terdengar teratur di telinga Livius.
Livius hanya bisa menatap lurus ke depan, tak berani bergerak sedikit pun. Namun, dalam hatinya, ada perasaan hangat yang sulit ia jelaskan, seperti kebahagiaan yang terselip dalam tugas yang ia jalani selama ini. Ia merasa dihargai, bukan sebagai penjaga, tapi sebagai seseorang yang Valen percayai sepenuhnya.
Setelah beberapa saat, Valen perlahan terbangun, masih menyandarkan tubuhnya pada Livius. Ia membuka mata sedikit, melihat wajah Livius yang begitu dekat dengannya. Tersenyum kecil, ia berbisik dengan suara yang hampir terdengar manja, “Bahkan aku hanya tidur 1 jam, tapi rasanya nyaman sekali. Aku tidak pernah merasakan kenyamanan ini selain darimu, Livius.”
Livius merasa pipinya memanas mendengar kata-kata itu. Ia tak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya tersenyum kecil dan mengangguk pelan.
Valen kemudian kembali bersandar, menatap langit-langit ruangan dengan pandangan yang terlihat begitu damai. “Aku harap, bahu mu akan selalu ada untukku jika aku sedang lelah. Harapan ku banyak, namun harapan utamaku, aku harap suatu saat nanti kau akan mengubah pandangan mu terhadap diriku”
Livius terdiam, hatinya bergetar mendengar permintaan yang terdengar sederhana namun sarat makna itu. Ia ingin menjawab dengan cepat, namun kata-kata terasa begitu sulit keluar dari mulutnya. Akhirnya, ia hanya mengangguk lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus.
“Malam ini kita hanya berdua, mari lebih dekatkan diri, Livius. Panggil aku Valen,” ujar Valen dengan suara lembut, sebelum kembali terlelap.
Livius masih terdiam, namun kali ini dengan perasaan yang berbeda. Nama “Valen” terasa begitu dekat di bibirnya, namun ia masih belum terbiasa untuk memanggil rajanya dengan nama panggilan begitu saja. Meskipun begitu, dalam hatinya, ia mulai menerima bahwa Valen telah memberinya tempat yang istimewa di hidupnya, dan hal itu membuatnya bahagia.
Livius kemudian memutuskan untuk tetap duduk di sana, menjaga Valen yang terlelap di bahunya, hingga larut malam. Tanpa ia sadari, malam itu menjadi awal dari perubahan hubungan mereka—sebuah hubungan yang dimulai dari ketulusan dan kepercayaan yang lebih dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
VALEN (Markhyuck)
FantastikDi tengah megahnya kerajaan, Raja Valen memimpin dengan keanggunan yang luar biasa-dengan pakaian layaknya seorang ratu, ia duduk di singgasananya, dihormati bahkan oleh orang tuanya sendiri. Namun, hatinya bergejolak pada prajuritnya sendiri, Liviu...