Di meja makan, suasana terasa sedikit tegang. Ruangan besar dengan lampu gantung elegan menambah kesan formal di meja panjang yang sudah penuh hidangan. Rangga, dalam tubuh Leo, baru duduk, mencoba terbiasa dengan pandangan yang tertuju padanya.
Di ujung meja, Darius Alexander-Daddy-duduk dengan ekspresi dingin dan tenang seperti biasanya. Di sebelah kanannya ada Xavier, abang sulung yang punya aura serius dan nyaris nggak pernah tertawa di meja makan. Duduk berhadapan adalah Arvin dan Alvin, si kembar yang dari tadi saling melempar pandang sambil sesekali melihat ke arah Rangga dengan tatapan menyelidik.
Dan di sebelah Rangga, Shela duduk dengan gaya khasnya yang imut-imut dibuat-buat, seperti biasanya. Dia memandang Rangga dengan senyum lebar yang keliatan polos, tapi siapa pun yang kenal lama pasti tau, Shela suka banget perhatian.
"Kamu kenapa lama banget sih, Leo?" Shela mulai, suaranya terdengar centil tapi berusaha polos. "Padahal semua udah duduk dari tadi lho." Senyum imutnya makin melebar sambil memandang Daddy, seolah mau bilang kalau dia anak baik yang selalu siap tepat waktu.
Darius cuma mengangkat sedikit alisnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah Xavier, seolah memberi kode. "Lain kali, usahakan lebih tepat waktu, Leo," ucapnya dengan nada datar tapi tegas. Jelas, ini bukan teguran yang main-main.
Rangga menelan ludah pelan, mengangguk sambil mencoba nggak terlalu kelihatan terkejut. "Iya, paham, Dad."
Arvin, yang duduk di sebelah Xavier, hanya terkekeh kecil mendengar kata-kata Daddy, sementara Alvin menyeringai dengan mata menyipit ke arah Rangga.
"Kenapa sih, kok jadi kelamaan makan?" ucap Arvin akhirnya, dengan nada malas. "Bener kata Shela, lho. Kita semua nungguin cuma buat kamu, Leo." Arvin berusaha menahan tawa sambil melirik Alvin, yang juga ikut senyum sinis.
Shela menyela lagi dengan suara manis, "Iya, Leo. Kan semua orang udah lapar. Kamu tuh tau nggak, kelamaan dikit aja tuh kasihanin yang lain." Dia menunduk sedikit, matanya berbinar kayak biasanya dia cari perhatian, walau dengan cara yang agak maksa.
Xavier, yang biasanya kalem, akhirnya buka suara juga. "Sudahlah, kalian berdua. Tidak perlu memperpanjang hal sepele ini." Pandangan Xavier tertuju pada Arvin dan Alvin, tapi terlihat jelas dia juga nggak suka kalau ada yang terlambat di meja makan.
Rangga cuma bisa senyum tipis sambil makan dengan tenang, berusaha biar nggak bikin suasana makin canggung. Dalam hati, dia mikir kalau ini semua mungkin bakal butuh waktu lama buat terbiasa.
Setelah makan malam, semua orang beranjak ke ruang tamu. Rangga ngikutin dari belakang, meskipun udah denger Alvin berbisik pelan ke Arvin.
"Ngapain juga dia ikut?" sindir Alvin dengan nada lirih. Rangga pura-pura nggak denger, walau jelas sindiran itu buat dia.
Di ruang tamu, abang tertua, Xavier, udah duduk dengan sikap khasnya yang tenang dan tegas. Di sampingnya, istrinya yang berusia sekitar 32 tahun menatap penuh perhatian. Anak-anak mereka, yang satu CEO muda berusia 24 tahun dan yang satu masih SMA kelas 12, juga udah berkumpul.
Saat Rangga mulai mencari tempat duduk, ada suara lembut dan hangat yang memanggil dari sampingnya.
"Leo sayang..." suara itu terdengar penuh kasih dan bikin Rangga otomatis menoleh.
Dia melihat seorang wanita berumur sekitar 42 tahun dengan senyum lembut yang langsung bikin suasana hati Rangga jadi tenang. Di dalam hati, Rangga berpikir, "Oh, ini tantenya? Apa gue harus manggil dia 'Mama'?"
Rangga ragu sejenak, tapi akhirnya dia peluk wanita itu sambil berkata pelan, "Iya, Tante... atau... Mama?"
Wanita itu tertawa kecil dan mengusap punggung Rangga. "Eh, Rangga... kok lupa? Harusnya mama dong, ya?" ucapnya sambil tersenyum lembut, seakan ngingetin dengan cara yang halus.
Rangga tersenyum canggung, "Iya, Mama... maaf," jawabnya pelan sambil masih memeluk erat, mencoba merasakan kehangatan seorang ibu yang dulu nggak pernah dia rasain.
Setelah pelukan itu, Rangga masih berdiri di dekat wanita yang memintanya memanggil "Mama." Tiba-tiba, suami tante-pamannya Leo-berdeham, seolah ingin menarik perhatian.
"Nak, kamu udah siap memilih mana yang kamu anggap sebagai ayah?" Suaranya terdengar tegas tapi penuh perhatian.
Rangga tertegun, nggak langsung ngerti maksud dari pertanyaan itu. Di dalam kepalanya, banyak tanda tanya bertebaran. Milih? Milih apaan? Kenapa disuruh milih ayah? Bukannya Daddy udah jadi ayah Leo dari awal?
Melihat kebingungan di wajahnya, abang sepupunya, Daniel, yang berusia sekitar 24 tahun dan punya aura tegas seperti ayahnya, angkat bicara.
"Kamu pilih siapa sebagai ayah? Papa atau Daddy?" Daniel menatapnya dengan tatapan menuntut, kayak ingin tahu apa yang bakal Rangga jawab.
Rangga berusaha menyembunyikan rasa bingungnya sambil mikir dalam hati, Waduh, ini maksudnya apa lagi? Pilih antara Papa atau Daddy? Jadi mereka berdua berebut posisi sebagai ayah gue?
Dengan sedikit ragu, Rangga akhirnya bertanya dengan suara pelan, "Boleh tau maksudnya apa... Papa atau Daddy?"
Suasana ruangan jadi hening sejenak, menunggu jawaban Rangga.
Kenzo, yang duduk di samping Wilhelmina, melihat Rangga dengan penuh perhatian. Dengan sedikit senyum, dia akhirnya membuka suara, "Leo, kamu sudah siap pilih nggak? Papa atau Daddy?"
Rangga, yang baru aja selesai makan dan masih terkejut dengan semua yang terjadi, bingung mendengar pertanyaan itu. "Maksudnya apa, Papa? Papa atau Daddy?" tanya Rangga dengan nada bingung, mencoba mencari penjelasan.
Kenzo, yang melihat kebingungan di wajah Rangga, menggeleng pelan. "Maksudnya, Leo, kamu pilih ayah kandungmu-Darius, atau papa, Papa, gitu. Kamu udah tahu kan, aku saudara Darius, dan papa pikir bisa jadi figur ayah buat kamu juga," jawab Kenzo sambil memberikan senyuman lembut.
Rangga terdiam sejenak. Dia tahu kalau Darius adalah ayah kandung Leo, tapi ternyata Kenzo, yang selama ini dia kenal sebagai suami Wilhelmina, menawarkan diri sebagai pengganti sosok ayah buat Leo. Itu sesuatu yang nggak dia duga sama sekali.
"Jadi... papa maksudnya, aku harus pilih antara Darius atau papa?" Rangga bertanya lagi, memastikan.
Kenzo mengangguk. "Iya, Leo. Kalau kamu merasa lebih nyaman, papa bisa jadi pengganti ayahmu. Wilhelmina juga udah setuju. Kita semua siap terima kamu." Kenzo kemudian menambahkan dengan penuh perhatian, "Kalau kamu pilih papa , bukan berarti kamu harus ninggalin Daddy atau keluarga lainnya. Tapi aku cuma mau kamu tahu, papa ada buat kamu."
Rangga, yang masih bingung dan belum bisa memutuskan, hanya bisa terdiam, mencerna kata-kata Kenzo.
Di tengah percakapan tersebut, ada satu orang yang diam-diam memperhatikan dari kejauhan. Shela, dengan ekspresi polos yang biasa, hanya bisa memandang ke arah Rangga yang sedang berbicara dengan Kenzo dan Wilhelmina. Dalam hatinya, dia bergumam penuh kekesalan, "Hah, Rangga mau diadopsi? Gue nggak bisa biarin itu terjadi. Seharusnya gue yang jadi perhatian keluarga ini, bukan dia. Walaupun gue anak tiri, gue tuh harus jadi yang pertama."
Shela terus memandangi Rangga dengan tatapan yang tidak bisa dibaca, meskipun di dalam dirinya mulai muncul perasaan yang membengkak-perasaan takut kalau perhatian yang selama ini dia dapat akan teralihkan oleh Rangga.
.
.
Makan tuh 1789 kata, pengen hiatus lagi 🗿.
Okey, gue akhirnya putusin buat selesain cerita ini walaupun rasanya gak nyambung, tapi tenang aja, masih ada satu cerita spesial buat kalian yang belum dipublish, jadi sabar ya!
Gue ngerti kalau mungkin ada yang ngerasa cerita ini agak bingung atau ada yang kurang, tapi tetap semangat! Semua bakal terjawab kok, cuma butuh waktu buat ngurusin semuanya. Jadi, gue bakal lanjut dan ngasih kejutan buat kalian yang nungguin terus. Kalian pasti suka deh sama ending-nya!
Thanks banget buat yang udah sabar nungguin, dan jangan khawatir, gue bakal balik lagi buat terus nulis cerita ini lebih seru! Stay tuned, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayang-Bayang Kehidupan ( Belum Revisi )
Teen Fiction**Spoiler: "Bayang-Bayang Kehidupan"** Rangga Putra Alamsyah, seorang CEO sukses, mengalami kematian tragis saat menyelamatkan seorang anak kecil. Namun, ia tidak mati seperti yang diharapkan. Sebaliknya, jiwanya terbangun dalam tubuh Elian, seorang...