Liam menyetir mobil sambil sesekali melirik Sheina dengan cemas dan rasa bersalah. Dia tak menyangka gadis muda yang tengah melamun di sebelahnya mengalami hal yang begitu menyakitkan.
"Om, kalau aku digigit ular atau nggak sengaja minum racun, tolong jangan panik, ya. Soalnya aku udah kebal dan baik-baik aja." Ucap Sheina tanpa menatap Liam. Gadis itu memilih menatap pemandangan dari jendela mobil dengan tatapan menerawang.
Liam menatap Sheina sejenak, lalu kembali fokus dengan mobilnya. Pria itu berdehem sebagai jawaban, membuat Sheina menatap ke arahnya secara spontan.
"Tadi, Om berdehem?" Tanya Sheina memastikan.
"Hn."
"Aku pikir kau...bisu total."
Liam menggeleng sebagai jawaban.
"Oh, ya, Om. Tahu, nggak." Sheina mengambil nafas dalam dan menghembuskan perlahan, "Dulu pas aku masih kecil. Aku pernah kelaparan selama beberapa hari. Saat itu ibu ninggalin aku selama berhari-hari entah kemana. Karena aku belum bisa masak waktu itu, entah seperti kebetulan atau bukan, aku lihat tetangga kedatangan ular ke rumahnya dan membunuhnya. Dia bakar tuh ular. Karena lapar, aku ambil tuh ular yang udah di panggang dan makan buat ganjel lapar." Sheina mulai bercerita.
Tubuh Liam menegang mendengar cerita Sheina, tanpa sadar dia mengeratkan pegangan pada stir kemudi. Amarahnya membuncah, tak habis pikir dengan keluarga Sheina yang begitu tega mengabaikannya.
"Setelah itu aku belajar bertahan hidup dengan berburu. Jadi, aku terbiasa berburu kalau tidak memiliki uang. Dari sana aku belajar untuk nggak bergantung pada siapapun. Bahkan paman preman dan kakek juga mengajarkan banyak hal untuk bertahan hidup padaku."
Mendengar cerita Sheina, Liam hanya bisa menghela napas panjang, merasakan kemarahan yang membara di dalam dirinya namun tak mampu meluapkannya dalam kata-kata.
Pegangannya pada stir semakin erat, menunjukkan ketidakberdayaannya untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya dengan cara biasa.
Matanya menatap lurus ke depan namun pikirannya terfokus pada masa kecil Sheina yang terasa begitu kejam dan jauh dari kasih sayang. Tanpa sadar jemarinya mulai bergerak mengetuk-ngetuk stir, seolah menyalurkan kemarahan yang tak bisa diucapkan itu. Dalam hati Liam berjanji tak akan membiarkan Sheina merasakan kelaparan atau terabaikan lagi, bukan selama dia ada di sisinya.
Sheina yang menyadari perubahan sikap Liam tertawa kecil untuk meredakan suasana. “Sudah, Om, aku sekarang sudah besar dan bisa makan enak setiap hari, kok,” katanya, mencoba menghibur.
Namun Liam dengan tatapan yang lebih dalam dan penuh tekad menoleh padanya sejenak. Ia memberi isyarat sederhana dengan tangannya, seolah ingin mengatakan bahwa dia akan selalu ada untuk menjaga Sheina, apa pun yang terjadi.
Perasaan Sheina pun menjadi hangat. Meski tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, Liam seolah mengatakan lebih banyak dari yang bisa diucapkan dengan kata-kata.
🐾
Mobil sedan civic memasuki komplek perumahan. Sheina menatap langit malam terlihat gelap dengan gugus bintang sebagai penerangnya melalui jendela mobil. Namun mata opal gadis itu memicing saat melihat sesuatu terbang di atas sana, seperti siluet kepala dengan rambut berkibar ditiup angin, diiringi garis samar yang merupakan organ dalam yang menjuntai."Aseekk!! Ada duit terbang, Om! Ayo kejar!" Seru Sheina bersemangat dari dalam mobil.
Liam yang sedang fokus mengemudi, terkejut mendengar seruan Sheina yang tiba-tiba. Ia langsung melirik ke arahnya dan melihat ekspresi antusias yang memenuhi wajah gadis itu. Mata opal Sheina berkilat tajam memandang sosok yang terbang di langit malam—tak salah lagi, itu kuyang yang selama ini dianggapnya sekadar cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembuat Onar Kesayangan Tuan Bisu
ParanormalSequel I Find My Home: Kehidupan Liam yang tenang berubah drastis setelah kedatangan Sheina, gadis berparas imut yang membuat Liam frustasi, ditambah dengan keberadaan Chakara, si kucing yang bisa berbicara ikut menambah kekacauan.