Akhir dari permulaan

2 1 0
                                    

Luna terbangun dengan keringat dingin di pelipisnya. Mimpi itu datang lagi, seperti serpihan kenangan yang terlewatkan. Mimpi ketika dia kecelakaan saat kecil, hari dimana dia kehilangan kedua orang tuanya.

Sejak kematian ibunya dan ayahnya Luna terus bermimpi hal yang aneh seperti rekaman kejadian menyedihkan di dalam hidupnya terputar setiap kali dia tertidur.

Karena itu juga Luna jadi menutup dirinya dan selalu menyendiri, penampilan tubuhnya juga menjadi kurus karena overthinking.

Padahal sebelumnya memiliki banyak teman, terutama ketika SMP. Dia bahkan mengikuti banyak eskul dan organisasi, menjalin banyak hubungan dengan semua orang disekolahnya tapi sekarang dia bahkan tidak punya teman sama sekali.

Luna benar-benar membenci realita akan hidupnya, teman-teman sekelasnya yang sering merundungnya, nilainya yang semakin menurun, bahkan perlakuan paman dan bibinya.

Pagi ini Luna bangun kesiangan akibat mimpi buruknya. Gadis itu tampak panik dan mandi terburu-buru agar tidak terlambat sampai sekolah, ketika dia sudah siap mengenakan seragamnya dan keluar dari kamar tidurnya, bibinya-Dina menyambutnya dengan wajah garang khasnya.

"Setiap hari bangun kesiangan! Mau jadi apa kamu!?" Ucapnya kesal.

Luna hanya mengalihkan wajahnya dan tidak menjawab sang bibi karena tau itu hanya akan membuatnya semakin murka.

"Kenapa diam saja? Marah karena diberi nasihat?" Ocehnya.

Luna menghela nafas. Semua tindakan yang dilakukannya pasti salah Dimata wanita berambut pirang itu. Jika Luna menjawab dia akan marah namun jika dia diam saja bibinya akan semakin jengkel.

Dulunya Luna sangat berbakti pada bibi dan pamannya karena tau dia tidak memiliki keluarga lagi selain mereka, tapi paman dan bibinya lama-kelamaan mulai semena-mena terhadap Luna seperti memaksanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah sedangkan bibinya hanya bermalas-malasan, bahkan mereka sering membentak Luna walau karena hal kecil.

Tentunya ini membuat Luna menjadi membenci paman dan bibinya sehingga dia merasa tidak perlu menghormati mereka.

"Sana pergi ke sekolah! Ga guna juga kamu disini, cuman jadi beban!" Cibirnya kesal.

>>>

Begitu sampai ke sekolah, ia sudah terlambat. Bu Dwi, guru BK yang terkenal killer, berdiri di depan pintu kelas dengan tatapan tak senang.

"Luna, kenapa telat lagi, sih?" tegur Bu Dwi. "Ini udah keempat kalinya kamu telat bulan ini."

Luna menunduk, mengangguk pelan. "Maaf, Bu..."

"Sudahlah. Kamu berdiri di sini sampai bel berbunyi," ucap Bu Dewi. Luna menurut, berdiri dengan pasrah di luar kelas, menahan malu saat siswa lain lewat dan berbisik-bisik sambil tersenyum mengejek.

Saat istirahat, Luna mencoba mencari tempat tenang di taman belakang sekolah. Namun, ketenangannya tak bertahan lama. Yura, Mina, dan Shelly mendekatinya dengan tatapan sinis.

"Hai, Luna," Yura menyeringai. "Telat lagi ya tadi pagi? Pantesan enggak ada yang mau temenan sama lo."

Mina menimpali sambil tertawa kecil. "Bener banget. Udah miskin, enggak pinter, pemalas lagi. Cocoknya lo tuh di sekolah lain aja!"

Shelly menggeleng-geleng sambil mengejek. "Iya, lebih cocok di tempat sampah sih"

Mereka bertiga tertawa puas sambil menatap Luna dengan mengejek.

Luna hanya bisa terdiam, menahan rasa perih di hatinya. Dia tahu, membalas hanya akan membuat semuanya lebih buruk.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Luna bergegas keluar kelas, ingin segera sampai di rumah. Namun langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok Gibran, pria yang diam-diam ia taksir. Gibran berdiri di depan gerbang sekolah, dan di sebelahnya, ada Yura.

Threads of Dreams Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang