Hanya mimpi?

1 1 0
                                    

Luna membulatkan matanya ketakutan mendengar perkataannya, dadanya terasa sesak dan tubuhnya terasa lemas.

Tiba-tiba, ruangan Luna berputar dengan cepat, dan dalam sekejap, kamar tidurnya menghilang, berubah menjadi jalan raya yang begitu familiar—jalan yang penuh kenangan buruk. Jalan inilah tempat orang tuanya dulu mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa mereka.

Luna mendapati dirinya duduk di dalam mobil di kursi belakang, dan di depannya, ia melihat punggung ayah dan ibunya, yang sedang mengobrol dan tertawa pelan. Semua tampak persis seperti hari terakhir mereka bersama.

"Ayah… Ibu…?” bisiknya, napasnya tercekat. Tangannya gemetar, dan dadanya terasa sesak.

Ibunya menoleh dan tersenyum lembut, seperti tidak ada yang salah. “Ada apa, sayang? Apa kamu baik-baik saja?”

Namun sebelum Luna bisa menjawab, ada suara klakson yang panjang dan menggelegar. Luna menoleh, melihat truk besar yang melaju kencang, mendekat dengan kecepatan yang tak bisa dihentikan. Ia tahu apa yang akan terjadi.

"TIDAK!"

Suara benturan keras menggema, kaca mobil pecah berhamburan, dan teriakan orang tuanya bergema sebelum akhirnya semuanya tenggelam dalam kegelapan.

Luna terduduk, seluruh tubuhnya bergetar, tangannya terasa dingin. Air matanya mengalir begitu deras dari tatapan matanya yang kosong.

Pemandangan jalan raya itu menghilang, berganti menjadi ruangan yang akrab namun membuat hati Luna terasa hampa.

Di sudut ruangan, ia melihat bibinya, Dina, sedang berbicara dengan seorang notaris. Luna hanya bisa menyaksikan, merasa kecil dan tak berdaya saat bibinya menandatangani beberapa dokumen dengan ekspresi puas di wajahnya.

"Rumah ini, dan semua yang mereka tinggalkan… sekarang milikku, bukan?” suara Dina terdengar serak, namun penuh keserakahan.

Notaris itu mengangguk, dan bibinya tersenyum puas sambil mengamati sekeliling. Luna tahu, itu adalah hari ketika bibinya mengambil alih segala yang seharusnya menjadi miliknya.

semua kenangan, semua peninggalan orang tuanya, telah direnggut begitu saja.

Setelah itu, ruangan kembali berganti, menunjukkan rumah kecil dan sederhana tempat ia sekarang tinggal bersama bibinya.

Luna kecil menyapu lantai, mencuci piring, dan mengelap meja dengan tangan-tangan kecilnya yang letih sementara bibinya beristirahat atau mengurus keluarganya sendiri.

Tiba-tiba, suara dingin sosok berjubah itu terdengar di belakangnya, “Inikah hidup yang kau pilih, Luna?” tanyanya dengan nada menghina.

Luna menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah mulai mengalir. Dia berbalik, menatap sosok berjubah itu. “Ya, aku tidak akan menyerahkan hidupku hanya untuk kebahagiaan yang palsu."

Seketika, suasana rumah yang suram itu berputar, menghilang di sekeliling Luna. Kini, ia berdiri di dalam kelas, dengan sorot mata tajam guru dan bisikan-bisikan penuh ejekan dari teman-temannya di sekitarnya.

"Luna, apa yang terjadi padamu?" suara Bu Dwi terdengar tajam namun penuh keprihatinan. "Nilaimu terus menurun. Kamu harus lebih serius dalam belajar jika ingin lulus tahun ini.”

Dari belakang, bisikan-bisikan mulai terdengar, semakin keras hingga berubah menjadi tawa pelan yang mengejek.

"Ya ampun, Luna lagi, ya? Otaknya memang pas-pasan," gumam Yura dengan nada sinis sambil terkikik.

“Kalau gitu, jangan harap bisa lulus bareng kita,” sambung Mina dengan tawa kecil.

“Udah bodoh, jelek lagi!” Shelly menambahkan dengan nada mengejek, yang langsung diiringi tawa dari beberapa teman lainnya.

Threads of Dreams Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang