Kepalaku sakit. Seolah ada palu berkali-kali menghantam tengkorak. Setiap hantaman begitu keras, amat kencang, hingga membuat otak berubah jadi bubur encer. Telinga berdenging, membuatku kesulitan mendengar apa pun. Sekalipun bisa berdiri, tapi rasanya aku bisa jatuh kapan pun.
“Kamu nggak bisa memaksaku, Senja!”
Bermacam potongan memori berusaha mendobrak benak. Persis film yang diputar dengan tempo cepat. Mataku perih. Air mata mengalir tanpa bisa kutahan. Keringat dingin membasahi tengkuk, punggung, dan telapak tangan.
“Aku bukan boneka yang bisa kamu setir.”
Dadaku sakit. Seperti ada beban yang menekan rongga dada dan membuat paru-paru dan jantung tergencet. Bila terus seperti ini, aku bisa mati!
Oh tidak. Aku memang mati. Seharusnya aku terkapar, bersimbah darah.
Aku ingat sedang bertengkar dengan seseorang. Pertengkaran dahsyat. Lalu lintas ramai dan aku tidak peduli sedang berdiri di pinggir jalan, mengabaikan lirikan orang yang melabeliku sinting. Adapun yang kumau hanya mempermalukan Sofia. Dia harus mendapat ganjaran karena berani merebut tunanganku, Tirta.
Semua ucapan buruk kulontarkan. Aku ingin Sofia, artis murahan itu, sadar diri. Dia tidak seharusnya menyentuh tunangan seseorang. Adu mulut terjadi antara diriku dan asisten Sofia. Aku bermaksud menjambak Sofia, tetapi sebelum niatku terlaksana....
Ada orang yang mendorongku. Aku tersungkur, mobil melintas, dan semuanya selesai.
“Hubungan di antara kita tuh nggak wajar!”
Ocehan orang ini membuat kepalaku sakit! Apa dia tidak sadar bahwa kini tanganku memijat pelipis, berusaha meredakan denyut menyakitkan yang kian menggila.
Senja. Itu namaku. Itu diriku.
Akan tetapi, Senja bukanlah satu-satunya identitas yang pernah kumiliki.
Kepalaku makin mirip mesin rusak. Berdesing, memaksaku melihat kebenaran baru. Fakta bahwa sebelum menjadi Senja aku pernah hidup sebagai orang menyedihkan di suatu negeri bernama Indonesia. Ada jutaan jiwa yang menetap di sana. Akulah salah satu di antara pejuang hidup yang akhirnya kalah dan mati karena kemiskinan.
“Sakit,” aku mengeluh. Suara yang keluar dari mulutku terdengar begitu memilukan. Mirip anak kucing yang berusaha meminta pertolongan setelah kehilangan induk. “Sakit!”
“Senja, aku nggak suka kamu!”
“DIAM KAMU!”
Kesabaran dalam diriku menipis. Aku mengacungkan kepalan tinju. Tepat di depan wajah oknum yang semakin membuatku muak.
“Tirta,” aku melontarkan peringatan, “kalau kamu nggak suka dengan pertunangan yang dibuat oleh orangtua kita, langsung ngomong ke papamu. Bisa, ‘kan?”
Tirta mirip ikan yang dilempar ke daratan. Mulut membuka menutup, tatapan nanar, kemudian wajahnya pun memerah.
Bagaimana bisa aku jatuh cinta kepada Tirta? Selama ini dia memperlakukanku seperti sampah. Tidak berarti. Aku telah merendahkan diriku, serendah-rendahnya, demi mengejar perhatian.
Betapa menyegarkan perasaan baru ini. Seolah ada sihir ajaib yang melenyapkan semua kotoran dalam diriku. Aku bisa melihat sesuatu yang luput dari diriku. Bahwa Tirta tidak pantas kuperjuangkan. Bahwa aku perlu tahu arti dari kata “cukup”. Bahwa seberapa besar kasih sayang yang kumiliki terhadap Tirta, itu tidak lebih penting daripada diriku sendiri.
“Kamu memuakkan,” desisku sembari menyeka air mata di pipi menggunakan punggung tangan. “Mulai detik ini,” sumpahku, “aku nggak akan mengejarmu seperti orang sinting. Kamu bebas, Kak. Bebas!”
KAMU SEDANG MEMBACA
I Want U!
FantasyHidup milikku yang seharusnya sempurna pun berubah berantakan. Tunanganku memilih membela cewek lain, membuatku patah hati, dan aku pun memilih mengincar si pelakor. Cinta membutakan diriku hingga tidak melihat betapa buruk tunanganku sesungguhnya...