6

490 177 15
                                    

Randu mengantar pesananku, lengkap dengan yang ingin kuberikan kepada sopir. Menikmati kue dan minuman, sendirian, di ruang sunyi ternyata tidak buruk juga. Aku bisa makan dengan gaya bebas. Alias, masa bodoh belepotan krim di pipi. Tentu saja cara makanku elegan dan tidak mirip anak tawuran. Bagaimanapun juga mamaku mengajari adab.

Perut kenyang, tapi hatiku masih menyimpam dendam membara. Akan kuadukan cowok berengsek itu kepada Papa! Minimal biar dia merasakan tendangan penghilang bola emas kembar. Mentang-mentang ada cewek cantik jelita menawan hati, sepertiku, enak saja dia main colek. Cuih!

Ponselku berdenting. Ada pesan masuk. Kupikir dari Papa atau Mama, ternyata pesan tersebut dari Imelda. Dia mengirim foto sebuah kalung berhias liontin berbentuk seekor angsa.

[Cantik, ‘kan? Nanti aku kirim.]

Jadi orang berduit memang enak. Mau kirim paket pun tidak perlu pusing memikirkan ongkos kirim dan pajak tambahan. Kubalas dengan oke, kemudian kumasukkan ponsel ke dalam ransel.

Hmmm Randu tidak lupa kepadaku, ‘kan? Semenjak mengirim pesananku, dia belum muncul. Aku takut nasibku berakhir seperti karakter dalam The Menu. Namun, kecemasanku tidak berlangsung lama. Randu muncul dan melunturkan semua pikiran konyol.

“Sudah kenyang?” Randu melirik piring kosong yang ada di meja. Barangkali aku salah lihat, tapi ujung bibirnya sedikit naik. Nyaris membentuk senyum. “Pasti kenyang.”

Aku baru sadar bahwa kue yang baru saja kutandaskan porsinya sedikit lebih besar daripada yang biasa kupesan. Mungkin kokinya senang dengan semangat kuliner milikku hingga memberiku bonus. Bicara bonus dan senang. Aku teringat ucapan Randu mengenai sesuatu.

“Kenapa kamu harus ngomong begitu?” tanyaku tanpa tedeng aling-aling. “Maksudku tuh gini: apa untungnya ngaku jadi pacarku? Kamu nggak takut Sofia dengar lalu kehilangan motivasi daftar jadi pacarmu?”

Tirta mengajariku sesuatu. Cinta memang menyenangkan, seperti candu. Namun, cinta sepihak tidak ada asyik-asyiknya! Senang, sendiri. Berdebar, sendiri. Berkhayal, sendiri. Lama-lama aku bisa jadi gila sungguhan!

Alih-alih memberiku jawaban, Randu justru berkata sembari membuka pintu, “Sebaiknya kamu cepet pulang. Pasti sopirmu nungguin, ‘kan?”

“Kok kamu tahu aku ditungguin?” Brrrr firasat tidak menyenangkan ini. “Kamu nggak naksir aku, ‘kan?” Senyum sombong pun terbit di wajahku. Seraya memelintir sejumput rambut dan bergaya sok imut ala karakter anime kawai, aku pun tanpa ragu bicara, “Hehe emang pesonaku tuh nggak main-main. Tirta doang yang matanya bermasalah. Bisa-bisanya nggak menghargai perhatianku, ya?”

Randu tidak tertawa apalagi tersenyum. Dia hanya memberiku pandangan pongah seolah aku perlu dibawa ke rumah sakit jiwa. “Udah? Cepat pulang.”

“Irit banget,” sindirku. Aku meraih ransel, memakainya, dan membawa kotak berisi kue. “Padahal menyenangkan diriku nggak bakal ngurangin kuota keberuntungan punyamu.”

“Iya,” sahut Randu, santai dan dingin. “Nggak ngurangin, tapi bukan kegiatan bermanfaat.”

Argh gigit saja! Gigit! Manusia satu ini tidak tahu seni mengagumi keindahan! Kupercepat langkahku. Untung aku masih ingat jalan keluar. Lewat sana, lewat sini, lurus, lewat dapur, lalu ruangan luas penuh dengan pelanggan, maju, keluar! Aku sama sekali tidak menengok ke belakang. Gengsi! Paling si Randu pun tidak mau tahu. Aku hanya fokus mencari mobilku. Sopir membantuku membuka pintu jok belakang sebelum kumintai tolong.

“Non Senja, temannya mau nebeng, ya?”

Baru saja aku berniat tancap gas, tapi ucapan sopir mengusikku. Aku melihat teman yang dimaksud si sopir dan membelalak. Randu ternyata mengikutiku. Saat aku menelengkan kepala, hendak bertanya, dia justru memberi arahan melalui gerakan tangan agar aku lekas masuk ke mobil.

“Enggak, Pak,” kataku dengan nada sengit, “dia mau lanjut kerja.”

“Oh oke, Non.”

Aku pun masuk, menutup pintu. Saat mobil yang kutumpangi melaju meninggalkan area kafe pun kegundahan dalam diriku belum surut. Balas dendam. Aku tidak ingin balas dendam berdarah. Satu-satunya yang Sofia inginkan melebihi apa pun ialah, Randu. Bila bisa berteman dekat dengan Randu dan sedikit cari kesempatan, pasti nikmat sekali melihat ekspresi kecewa di wajah Sofia yang sempurna itu.

Masalahnya, kapan aku bisa lihat Sofia nangis jelek? Kapan?!

***

Berkat aduanku, yang drama sekali, Papa dan Mama memberiku ultimatum! Mereka melarangku jajan di tempat ramai tanpa ditemani seseorang. Itu artinya, ke mana pun aku pergi jelas sopir atau entah siapa wajib menyertaiku.

“Untung kamu diganggu di tempat ramai dan ada yang nolongin,” cerocos Mama. “Sekalipun di tempat ramai, kamu tetap harus hati-hati!”

Cowok mesum populasinya tersebar merata di setiap sudut dunia. Mereka merasa perlu menuruti nafsu daripada logika. Apa mereka akan kena kejang-kejang semisal sehari saja bersikap layaknya manusia?

Lalu, hal lain. Aku jadi malas mampir ke kafe hanya demi menjebak Randu. Boro-boro berhasil, justru trauma yang kudapat! Ogah saja teringat kenangan tidak menyenangkan kala orang tidak jelas menghampiriku. Jadi, aku memutuskan menyerah dengan rencana sering nongol di tempat kerja Randu.

Di sekolah pun aku mulai mengurung sisi “ingin cepat menaklukkan Randu sebagai anak buah”. Aku memilih menikmati masa remaja dengan cara jajan, baca komik, jajan, menonton cewek bertengkar rebutan cowok, jajan, main dengan kucing liar yang ada di sekolah, jajan, mampir ke toko buku, jajan, beli baju, jajan. Iya, aku berusaha jadi murid teladan. Nanti akan kuminta pujian dari Papa!

“Tumben nggak ngintilin Randu,” sindir Meli.

Meli merupakan teman sekelas. Mejanya berada tepat di belakangku. Dia tipikal cewek manis, hobi menari, dan punya banyak cara mengajak seseorang berbicara. Contohnya, saat ini. Dia menarik kursi kosong, mendekatkannya di mejaku, dan sibuk memberiku cengiran lucu. Dih sok imut banget manusia satu ini, pikirku.

Ralat, Meli di masa depan nanti akan menjadi penari sekaligus bintang film ternama. Setahuku, dia selalu ikut pentas drama apa pun yang ada hubungannya dengan tari dan menyanyi.

“Apaan, sih?” Aku merogoh ransel, menarik sebungkus biskuit cokelat, dan membukanya. “Nggak ada kegiatan, ya?”

Cengiran di wajah Meli pun melebar. Begitu lebar hingga siapa pun bisa menyandingkannya dengan gerbang kesuksesan tiada tara. “Dih yang naksir, tapi nggak ditanggepin doi. Jangan ngambek gitu dong. Lucunya.”

Kurang ajar. Meli mencubit pipiku. Kedua pipiku!

Berhubung aku sedang sibuk mengunyah dan tidak berencana tersedak, maka kubiarkan saja Meli sesuka hati memuji kecantikan pipiku.

“Jangan nyerah dong,” Meli menyemangati. Akhirnya dia berhenti mengganggu pipiku. “Jarang lho Randu mau ditemanin. Biasanya juga langsung diusir.”

“Mana?” tantangku, tidak percaya. “Jangan ngasal deh.”

“Tuh,” Meli menunjuk anak cowok yang berusaha merangkul Randu. Tanpa ragu Randu langsung menepis tangan cowok itu dan memberinya perengutan. “Ya, ‘kan? Padahal dia mau nawarin Randu ikut basket. Biasa deh. Tanding. Lagi pula, Randu dari kemarin mirip kompor panas. Cemberut ke siapa pun. Coba deh kamu dekatin lagi. Siapa tahu dia jadi jinak.”

Kuputar bola mata. Jemariku sibuk menyuapkan biskuit ke mulut, sementara mataku memandangi punggung Randu. Mungkin dia punya indra keenam. Tiada angin dan hujan, mendadak dia menoleh ke belakang. Pandangan mata kami bertemu dan aku mematung. Otomatis biskuit berbentuk stik berlumur cokelat pun mencuat dari bibirku.

“...”

Randu tersenyum, kemudian terkekeh. Bahunya bergerak naik turun seolah dia berusaha keras tidak terbahak.

Lekas kukunyah biskuit hingga habis sebelum bicara, “Apaan, sih? Gak jelas.”

“Dia senang tuh,” ujar Meli sembari mencolek pipiku. “Lain kali pawangnya dikasih perhatian, ya?”

Akulah pawang! Aku! Tidak sudi turun posisi!

***
Selesai ditulis pada 20 November 2024.

***
Huhuhuhu senang bisa update episode terbaru. Hihihi! Loveeeeeeeeeeeeeeeeeee untuk kalian semua teman-teman.

Love.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I Want U!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang