Gara-gara terbakar kemarahan, aku pun memilih kembali ke kelas. Bukan cuma pergi begitu saja. Tidak dong. Aku meninggalkan kotak bekal berisi buah-buahan. Rencana besarnya sih begini, ya. Kutinggalkan bekal, Randu memakan bekal dariku, dan dia akan mulai mempertimbangkan jadi anak buahku dengan sogokan buah. Aku, kan, tidak mungkin memaksa dia menerima bekal dariku. Maaf saja, ya. Aku tidak sudi mengikuti taktik perang dari komik cewek. Takut gagal, sih. Demi melindungi harga diri, aku harus cerdik seperti Detektif Conan. Dih cerdasnya diriku!
“Jangan buang-buang makanan.”
“...”
Apa ini? APA?! Alih-alih menikmati buah dariku, Randu mengembalikan bekal makan siangku. Dia meletakkan kotak bekal di mejaku. Mendadak kursi yang kududuki terasa panas seolah ada anak kurang ajar yang meletakkan lilin di bawah kursi.
Kupelototi Randu yang kini duduk manis di kursinya sendiri. Dia tidak bertukar sapa dengan siapa pun. Sibuk menenggelamkan diri dalam pembelajaran fantastis menuju masa depan dinamis.
Woey! Hatiku teriris-iris. Sakit.
“Widih buah segar, nih,” cerocos salah satu cowok yang hobi memotong rambutnya mirip salah satu bintang iklan yang namanya pun tidak kuingat. “Kalau kamu nggak doyan, boleh dong buat aku?”
Kututup kotak bekal. Dengan segenap kejengkelan kuserahkan kotak bekal kepada cowok itu. Dia pun berseru riang dan menyantap semua buah.
Kugigit kuku ibu jariku. Sejauh ini strategiku belum membuahkan hasil. Ibarat menegakkan sehelai benang basah. Ingin kugaruk kepala Randu dan berteriak, “Cepat jadi anak buahku!”
Aku tidak boleh terburu nafsu. Siasat perang mengajarkan bahwa ketergesaan hanya akan mengantarkan seseorang pada kekalahan. Aku harus mundur demi mendapatkan hasil sempurna.
***
Bel pulang sekolah berbunyi. Randu melesat keluar kelas, sama sekali tidak mau melihatku, dan lenyap. Aku hendak mengekor di belakang Randu dan menggagalkan rencana kencan bersama Sofia. Namun, saat berada di sekitar area parkiran gedung milik anak sosial, aku justru bertatap muka dengan mantan.
“Jangan pikir aku bakalan terenyuh gara-gara kamu, ya?”
Tirta dan penyakit sinting. Sungguh kombinasi mematikan. Dia berdiri menjulang di hadapanku mirip jaksa dari neraka yang hendak mengadili seluruh dosaku. Gambaran suram karena dia memang memosisikan diri sebagai orang benar, sementara diriku penjahat dalam cerita.
Kucengkeram tali ransel, berharap bisa segera menemukan Sofia maupun Randu. Ke mana perginya keajaiban di saat kubutuhkan?
“Terserahmu,” sahutku acuh tidak acuh. Kuedarkan pandangan, mengamati sekitar. Ada beberapa siswa yang curi pandang ke arahku. Mereka pasti tertarik menyaksikan gosip terbaru. Secara, Tirta lumayan populer. “Minggir.”
“Sekalipun Om bilang kamu memutuskan mundur dari pertunangan,” ujarnya mengabaikan permintaanku. “Aku nggak bakal tertipu siasat licikmu. Kamu pasti pengin gangguin Sofia, ‘kan?”
Kuputar bola mata begitu mendengar tuduhan Tirta. “Iya deh siasat.”
Aminkan saja semua berondong serapah dari Tirta. Pengalaman mengajarkan bahwa mendebat Tirta hanya akan mengantarku ke pertengkaran baru.
“Udah, ‘kan? Aku sibuk, nih,” kataku dengan nada riang. “Bung, kita nggak perlu terlihat mencolok di sini. Aku tahu diriku cantik menawan tiada tara hingga membuat bidadari celaka. Namun, jangan pikir aku nggak berani menggigit di saat terdesak....”
Aku tidak sanggup melanjutkan pidato indah. Sebab mataku menangkap keberadaan Randu. Sialnya, dia sedang membonceng Sofia. Aku tidak percaya dengan namanya kebetulan! Hell no! Lihat saja mereka. Sofia mengenakan helm warna merah muda nyentrik. Itu artinya dia MEMANG merencanakan kencan sempurna bersama Randu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Want U!
FantasiHidup milikku yang seharusnya sempurna pun berubah berantakan. Tunanganku memilih membela cewek lain, membuatku patah hati, dan aku pun memilih mengincar si pelakor. Cinta membutakan diriku hingga tidak melihat betapa buruk tunanganku sesungguhnya...