4

565 162 15
                                    

Semangat menyambut pagi. Harus! Semua demi melancarkan acara balas dendam estetik nan cantik. Biasanya aku bangun pagi dengan jantung berdebar karena ingin bertemu Tirta. Sekarang tidak. Tentu harus ada perubahan dong. Buat apa mengejar cowok kurang ajar? Memangnya di laut kurang ikan? Aku tidak sudi terjebak hubungan tanpa kepastian. Apa tidak capek meremas hati dan jiwa demi seseorang yang hanya mengutamakan cewek lain daripada diriku? Cuih!

Setelah mandi, berpakaian, dan berdandan aku pun turun ke lantai bawah. Papa dan Mama asyik menikmati sarapan.

Papa terlihat keren dalam balutan pakaian kerja. Dia memang papa terkeren yang ada di dunia. Bagaimana tidak keren? Punya putri sinting, iya aku, dan sering minta hal yang edan pun namaku tidak dicoret dari KK. Itu ... errrr cukup menguntungkanku.

Mama tampak segar dalam balutan baju bernuansa krem dan merah muda. Dia mungkin akan pergi ke suatu tempat, menikmati hobi, lalu pulang sembari menyodoriku model baju kesukaannya.

“Pagi,” sapaku sembari duduk.

Papa dan Mama tersenyum. Sambutan hangat nan menyenangkan.

“Papa berencana mengembalikan gelang dari keluarga Tirta,” ujar Papaku. “Perhiasan itu sebenarnya diperuntukkan bagi pasangan—”

“Balikin aja, Pa,” sambarku, gemas. Aku meraih roti, mengoleskan selai cokelat, dan makan. Setelah puas menikmati selembar roti tawar, aku melanjutkan: “Nggak perlu menjelaskan sejarah ini, itu, ini. Pokoknya aku capek ngejar Tirta. Mendingan Papa cari jodoh buat aku yang nilainya di atas Tirta.”

“Anak Mama nggak kapok, ya?” sindir Mama. Dia memberiku cengiran lucu. “Nanti kecewa dengan pilihan Papa.”

“Ya jangan sekarang dong,” sahutku tidak kalah jenaka. “Nanti aja. Pas aku dewasa. Sekarang aku pengin menikmati masa SMA sepuas hatiku! Soalnya kalau udah gedhe, beban hidup menanti.”

Yeah pajak, cari pekerjaan, uang makan ... eh? But, aku sekarang anak orang mampu! Buat apa aku pusing memikirkan masa depan? Seingatku kedua kakakku, sekalipun aku telah dewasa, hobi memberiku uang jajan. Hmmm oke. Bisnis. Benar! Bisnis, cari uang, dan hidup damai dengan kucing atau anjing.

“Oke deh,” sambut Papa dengan tawa. “Papa akan temukan jodoh sesuai kriteria Mama dan kedua kakakmu.”

“Iiiiih kok mereka juga disebut?” protesku tidak terima. “Kan aku yang milih.”

“Percaya deh, Senja,” bujuk Mama. “Kalau ada cowok yang sanggup memuaskan kakak-kakakmu, sudah pasti dia betah denganmu.”

Ha ha ha bilang saja kalau ada cowok yang kuat menghadapi Imelda maupun Antoni, sudah pasti dia cukup sehat rohaninya menahan kesintinganku.

***

Untung aku sudah meminta tolong dibuatkan bekal. Jadi, misi menguntit Randu pun mudah. Di kelas aku berusaha sok kenal sok dekat. Sumpah sungguh susah. Aku lempar senyum. Randu diam. Aku sapa. Randu memberiku perengutan. Aku mengetuk mejanya mencoba bicara. Randu langsung memelototiku.

Hell! So hard! Hard dalam artian tidak seksi dan sialan! Ingin kucekik dia, tapi sayangnya diriku yang butuh dia.

Total seminggu aku mirip penguntit menyedihkan. Bahkan teman sekelas pun sempat menegurku. “Senja, jangan begitu. Nanti kamu dalam bahaya.” Tentu saja kuabaikan. Memangnya Randu bakalan mukul aku? Tidak, ‘kan? Maka, jangan menyerah. Sebelum Sofia merasakan susahnya mengejar cowok yang peduli ke cewek lain, pantang mundur.

“Halooooooo!” sapaku kepada Randu.

Jam istirahar. Randu kabur ke taman di dekat perpustakaan. Dia duduk di bangku yang memiliki meja mirip jamur. Asli deh perancang tata gedung dan taman di sekolah sangat keren. Rumput hijau segar, tanaman meneduhkan, dan cocok untuk tempat main film.

I Want U!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang