01. Chaos

6 2 0
                                    

Malam itu, langit menyimpan gulita yang menggantung seperti ancaman. Di dalam ruangan kecil yang sudah akrab dengan suara tawa dan hangat kebersamaan, malam itu menjadi saksi bisu bagaimana segala sesuatu yang pernah terlihat kuat, utuh, dan sempurna perlahan-lahan hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Suara-suara keras memenuhi udara, tajam dan menikam, setiap kata terlempar bagai pecahan kaca, menyayat tanpa ampun.

Bima menatapnya, perempuan yang sudah ia anggap seperti rumah, namun kini tampak asing. Kilauan mata yang dulu menghangatkan kini dipenuhi api yang berkobar. Wajah yang pernah ia kagumi kini dipenuhi amarah yang dingin, dan suaranya… suara itu kini tak lebih dari bara yang membakar segala sesuatu yang ada di dalam dirinya.

“Kenapa kamu selalu saja sibuk?” suara perempuan itu menyentak keheningan yang terasa seperti kerapuhan yang siap pecah kapan saja. “Kamu bilang kita penting, tapi nyatanya… aku cuma sisa waktu yang kamu sempatkan di sela-sela kesibukanmu.”

“Bukan begitu,” Bima mencoba menahan suaranya agar tetap tenang, namun amarah dan ketidakberdayaan mulai mengoyak suaranya sendiri. “Aku… aku sedang mencoba mengejar sesuatu. Ini untuk masa depan kita. Kamu tahu itu.”

“Tidak, Bima,” potongnya cepat. “Yang kamu kejar adalah ambisimu sendiri. Kamu membiarkan aku berdiri di pinggiran, hanya menunggu sisa-sisa waktumu, seperti aku tidak lebih dari penonton dalam hidupmu.”

Ia terdiam, terperangkap dalam pusaran konflik yang seolah tak menemukan jalan keluar. Kata-kata perempuan itu seperti lempeng besi yang dingin dan tak tergoyahkan. Bima ingin memeluknya, ingin meyakinkan bahwa semua yang ia lakukan, segala waktu yang ia korbankan, adalah demi mereka berdua. Tapi kata-kata itu tersangkut, tercekat di tenggorokannya. Hatinya terbelah, antara keinginan untuk membela diri dan ketakutan akan luka yang bisa saja menganga lebih dalam.

“Jadi… ini yang kamu inginkan? Kamu mau aku berhenti?” tanya Bima akhirnya, suaranya terdengar lemah. “Kamu mau aku menyerah pada semuanya?”

Perempuan itu menggeleng pelan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Aku ingin kamu memilih, Bima. Aku ingin tahu seberapa berartinya aku bagimu. Apa aku hanya… sekadar hiasan dalam perjalananmu?”

Perasaan bersalah menghantam Bima seperti ombak besar yang bergulung di dadanya. Ia tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Rasanya seperti setiap jalan keluar adalah dinding buntu yang menghimpit, mencekik setiap upaya yang ia lakukan untuk membuat perempuan itu memahami. Jari-jarinya bergetar, mencengkeram kuat lengan sofa di hadapannya.

“Aku tak bisa begitu saja berhenti, kamu tahu itu. Aku sudah terlalu jauh berjalan. Masa depan kita… masa depan ini… akan runtuh kalau aku menyerah sekarang,” jawabnya terbata-bata.

Namun tak ada yang bergeming. Hening menjalar di antara mereka, menyelimuti segala sisa cinta dan harapan yang dulu terasa begitu penuh. Tatapan perempuan itu mulai berubah menjadi dingin, seperti es yang menjebak segala rasa hangat yang pernah ada. Dan malam itu, akhirnya, satu kata itu terucap dari bibir perempuan itu—kata yang sebelumnya hanya mereka anggap sebagai ancaman, tak pernah sungguh-sungguh terlintas dalam benak Bima akan menjadi kenyataan.

“Kita… kita sudahi saja, Bima.”

Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam jantungnya. Ia terdiam, terlalu terpukul untuk merespons. Suaranya hilang, seakan tersedot ke dalam pusaran yang dalam dan gelap. Ia merasa seolah tubuhnya melayang, kehilangan pegangan, meraba-raba dalam kekosongan yang tiba-tiba merangsek masuk, menggantikan segala keyakinan yang pernah ia miliki tentang mereka berdua.

“Kamu tidak serius…” bisiknya lirih, seolah berharap kata-kata itu hanyalah kesalahpahaman, sepotong kalimat yang bisa ia hapus begitu saja.

Perempuan itu menatapnya tajam, ekspresi wajahnya campuran antara luka yang dalam dan keteguhan yang tak bisa digoyahkan lagi. “Serius, Bima. Mungkin ini yang terbaik untuk kita… daripada kita terus menyakiti satu sama lain.”

Kata-kata itu bagaikan angin yang membekukan segalanya. Dada Bima sesak, jantungnya berdebar dalam detakan yang hampir tak terkendali, namun bibirnya tak lagi mampu mengucap satu kata pun. Ia tahu, di dalam dirinya ada bagian yang ingin menahan perempuan itu, bagian yang ingin memohon agar ia tetap tinggal, bagian yang ingin berjuang untuk mempertahankan segalanya. Tapi ego… ego yang terlampau tinggi itu menahannya. Ada sesuatu dalam dirinya yang terlalu keras, terlalu enggan terlihat lemah.

Dan begitulah, tanpa kata lain, tanpa usaha terakhir untuk bertahan, hubungan mereka jatuh menjadi kepingan yang berserakan di lantai, tak mampu ia pungut kembali.

Perempuan itu pergi, meninggalkan Bima sendirian dalam ruangan yang kini terasa dingin dan kosong. Ia ingin berteriak, ingin mengeluarkan segala amarah, segala ketakutan, segala penyesalan yang kini merajamnya dari dalam. Namun, ia tetap diam, tubuhnya kaku, hatinya beku, dan yang tersisa hanyalah kesunyian yang menggema di sekelilingnya.

Malam itu, Bima kehilangan segalanya. Kehilangan perempuan yang menjadi pusat dunianya, kehilangan kehangatan yang dulu membuatnya merasa utuh. Kini, yang tersisa hanyalah kehampaan… dan dalam kehampaan itu, Bima tahu, ia tak lagi memiliki arah.

Abandon.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang