Hari-hari terus berjalan, menyeret Bima dalam kehampaan yang tak berujung. Ia tak tahu lagi apa yang menjadi alasan untuk bangun setiap pagi, untuk melangkah, untuk bernapas. Kehidupan yang ia jalani terasa begitu jauh, begitu asing, seolah-olah ia hanya menjadi pengamat dari kehidupannya sendiri, terjebak dalam lorong tanpa ujung yang hanya menyisakan rasa sesak dan perih yang tak kunjung reda.
Semakin hari, semakin ia merasa tubuh dan jiwanya terpisah. Ia menjalani setiap langkah dengan kosong, tanpa gairah, tanpa harapan. Semua yang dulunya berarti kini tampak tak berguna, hampa, seperti benda-benda mati yang kehilangan makna. Ia mulai kehilangan kontrol atas dirinya sendiri—makan dan tidur tak lagi menjadi kebutuhan, melainkan kebiasaan yang nyaris mekanis. Ia seperti mesin, bergerak tanpa jiwa, tanpa tujuan.
Dan pada suatu malam, ketika ia pulang dalam keadaan lelah yang tak terucapkan, ia menemukan ibunya menunggunya di ruang tamu. Raut wajah ibunya terlihat cemas, matanya yang keriput memancarkan kekhawatiran yang dalam. Sudah berhari-hari ibunya memperhatikan perubahan pada diri Bima, namun selama ini ia tak pernah mengatakannya. Malam itu, melihat wajah Bima yang semakin pucat dan kosong, ibunya tak lagi bisa menahan diri.
“Nak… kamu kenapa?” Suara ibunya pelan, namun penuh kepedulian yang menusuk hati Bima. Kalimat itu sederhana, namun terasa seperti sentuhan lembut yang menyentuh luka-luka tersembunyi dalam hatinya.
Bima diam, tak mampu menjawab. Ia ingin mengatakan semuanya, ingin menangis di pelukan ibunya, ingin meluapkan segala kesakitan yang selama ini ia tahan. Namun, lidahnya kelu, seolah semua kata tersangkut di tenggorokannya, tak bisa keluar. Ia hanya menunduk, menatap lantai, mencoba menahan air mata yang kini mulai menggenang di pelupuk matanya.
Melihat kesedihan di wajah Bima, ibunya mendekat dan memeluknya tanpa berkata apa-apa. Pelukan itu hangat, lembut, dan dalam keheningan itu, pertahanannya runtuh. Air matanya tumpah tanpa bisa ia kendalikan, mengalir deras seperti banjir yang telah lama ia tahan. Semua kesedihan, semua kekecewaan, semua rasa sakit yang selama ini ia pendam kini mengalir dalam isakan yang tak lagi bisa ia tahan.
Bima menangis dalam pelukan ibunya, menangis seperti anak kecil yang tersesat di tengah kegelapan. Ia membiarkan semua rasa yang selama ini menghimpit dadanya mengalir keluar, membasahi pundak ibunya yang tetap mendekapnya erat, seolah-olah ingin melindunginya dari dunia yang begitu kejam. Dalam pelukan itu, Bima merasakan kehangatan yang berbeda, kehangatan yang mengingatkannya bahwa ia tak benar-benar sendirian.
Ibunya hanya membelai kepalanya, membiarkan Bima meluapkan segala emosi yang telah menumpuk dalam dirinya. Tak ada kata-kata, tak ada pertanyaan. Hanya kehadiran yang diam, namun penuh makna. Bima tahu, dalam dekapan ibunya, semua rasa sakit ini terasa sedikit lebih ringan, sedikit lebih tertahankan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa mungkin masih ada sisa kekuatan dalam dirinya.
Setelah beberapa saat, Bima perlahan-lahan melepaskan pelukan ibunya, mencoba menenangkan dirinya yang masih terisak. Ibunya menatapnya lembut, mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. “Apapun yang kamu rasakan, apapun yang kamu alami… ingat, kamu selalu punya tempat di sini. Rumah ini selalu terbuka buat kamu, Nak.”
Kata-kata itu menghantam hatinya dengan lembut namun penuh arti. Bima mengangguk pelan, tak mampu mengucapkan terima kasih. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ibunya telah menyelamatkannya malam ini—menyelamatkannya dari kehancuran yang nyaris menelannya sepenuhnya.
Malam itu, Bima merenung sendirian di kamarnya yang gelap. Ia tahu, bahwa meskipun pelukan itu tak mampu menghapus seluruh luka dalam hatinya, ia telah menemukan secercah kekuatan untuk bertahan. Ia tak lagi merasa teramat sendirian, tak lagi merasa sepenuhnya hampa. Ada seseorang yang peduli, ada seseorang yang masih memandangnya dengan cinta yang tulus, tanpa syarat.
Di tengah malam yang sunyi itu, ia memandang ke luar jendela, menatap langit yang gelap. Bintang-bintang berkerlip samar di kejauhan, seolah mengingatkannya bahwa di balik segala kegelapan, ada titik-titik kecil yang mungkin akan menuntunnya keluar. Bima menyadari, bahwa mungkin hidupnya belum sepenuhnya berakhir. Bahwa mungkin masih ada jalan yang bisa ia temukan, meskipun jalannya masih penuh duri dan kegelapan.
Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara malam yang dingin namun menyegarkan. Untuk pertama kalinya, ia merasa mampu menerima bahwa luka ini akan menjadi bagian dari hidupnya. Menerima bahwa kehilangan ini bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah awal yang berat namun mungkin berarti. Meski belum sepenuhnya sembuh, meski hati masih terasa kosong, ia kini memiliki keberanian untuk melangkah lagi—meski hanya satu langkah kecil dalam perjalanan panjang yang belum ia pahami sepenuhnya.
Malam itu, Bima tertidur dengan perasaan yang berbeda. Masih ada kesedihan, masih ada rasa sakit, namun di balik semua itu, ada ketenangan yang baru, ketenangan yang datang dari kesadaran bahwa ia tak benar-benar sendirian. Bahwa meskipun cinta telah pergi, ada kasih sayang lain yang selalu siap menyambutnya, memberikan kehangatan di tengah kegelapan yang ia rasakan.
Dalam tidurnya yang lelap, ia bermimpi tentang cahaya-cahaya kecil yang perlahan muncul di tengah gulita, membentuk jalan yang samar, jalan yang mungkin akan membawanya keluar dari kehampaan ini.
Dan di pagi berikutnya, meski belum sepenuhnya bangkit, Bima menyadari bahwa ia memiliki keberanian untuk mencoba… untuk menjalani satu hari lagi, satu langkah lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Abandon.
RomanceAbandon adalah kisah tentang kehilangan, pengkhianatan terhadap diri sendiri, dan pencarian akan cahaya di tengah kegelapan yang tak terlihat ujungnya.