Epilogue. Pitch black.

0 0 0
                                    

Pagi itu, Bima bangun dengan perasaan yang tenang, tenang yang aneh, seperti sebuah keheningan yang hanya ia rasakan dalam hatinya. Dalam keheningan itu, ia merasa seolah beban yang selama ini menghimpit dadanya telah menghilang, namun yang tersisa hanyalah kekosongan yang sulit dijelaskan, sepi yang mendalam.

Ia bangun dari ranjangnya dan memandangi dirinya di cermin, menatap wajah yang tampak tenang namun tampak lelah. Di dalam matanya, ia melihat sorot yang berbeda, sorot yang selama ini tersembunyi di balik kegelisahan yang ia coba pendam. Hari itu, ia tahu bahwa perjalanan ini sudah mendekati akhirnya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi, namun ia telah membuat keputusan dalam hatinya.

Dengan langkah pelan, ia keluar dari kamar dan berjalan ke dapur, menemui ibunya yang sedang menyiapkan sarapan seperti biasanya. Tanpa berkata apa-apa, ia menghampiri sang ibu, lalu memeluknya erat, membiarkan kehangatan itu memenuhi dirinya, seperti ingin mengingat setiap detik, setiap momen. Ibunya tersentak, lalu membalas pelukan itu dengan keheranan, namun tidak bertanya apa-apa. Dalam dekapan itu, Bima merasakan cinta yang tak bertepi, cinta yang selama ini menjadi pelindungnya dari dunia yang begitu kejam.

“Ibu, terima kasih… untuk segalanya,” ucapnya pelan, seolah kata-kata itu adalah pesan terakhir yang ingin ia sampaikan.

Ibunya hanya tersenyum dan mengangguk, tak ingin mengganggu ketenangan yang Bima rasakan. Di dalam hati, ia merasakan kehangatan, dan di sudut hatinya yang paling dalam, ia berharap bahwa cinta ibunya akan terus bersamanya, ke manapun ia pergi.

Hari itu, Bima memutuskan untuk menemui satu per satu orang terdekatnya, orang-orang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya, orang-orang yang selalu peduli padanya. Pertama, ia mendatangi rumah Bayu, sahabatnya yang selalu ada di sisinya, yang selalu mencoba membantu meskipun ia tak pernah mengungkapkan perasaannya dengan jujur.

Ketika Bayu membuka pintu, Bima hanya tersenyum dan mengajak Bayu untuk berbincang di teras rumahnya, bercakap-cakap tentang hal-hal kecil yang tak terlalu penting. Di akhir perbincangan mereka, Bima menggenggam tangan Bayu dan menatapnya dalam-dalam, menyampaikan isyarat yang hanya bisa dipahami dalam keheningan.

“Terima kasih, Yu. Terima kasih untuk semua waktu yang kamu luangkan buat gue,” ucapnya dengan suara lirih namun penuh arti.

Bayu terdiam, sedikit heran dengan sikap Bima yang begitu mendalam. Ia membalas genggaman itu dan tersenyum kecil, namun tak menyadari bahwa mungkin, ini adalah perpisahan yang tak terucap.

Setelah dari rumah Bayu, ia melangkah ke rumah Arif dan Dedi, sahabatnya yang lain, membawa pesan yang sama, namun tak pernah menyebutkan perpisahan secara langsung. Dalam keheningan yang menyelimuti pertemuan itu, mereka merasa bahwa Bima sedikit berbeda hari itu, namun tak ada dari mereka yang mengira bahwa ini adalah isyarat bahwa Bima mungkin telah memutuskan untuk pergi.

Langkah terakhirnya adalah mendatangi angkringan sepupunya, tempat yang selama ini menjadi saksi bagi kebahagiaannya dan rasa sakitnya. Saat ia duduk di sana, memandangi setiap sudut angkringan yang akrab dalam ingatannya, Bima berbicara dengan sepupunya, berbagi cerita-cerita lama dengan senyum samar.

Sepupunya menatapnya dengan tatapan hangat, namun dengan sedikit kekhawatiran. Ia bisa merasakan ketenangan yang tak biasa dari Bima, seolah ia telah menemukan kedamaian yang tak dimiliki sebelumnya.

“Jaga angkringan ini baik-baik ya… dan kalau kamu punya waktu, datanglah ke rumah Ibu sesekali. Mungkin aku gak akan ada di sana lagi untuk nemenin kamu ngopi,” kata Bima sambil tersenyum.

Sepupunya mengangguk, menyadari bahwa kata-kata itu memiliki makna yang dalam, namun ia tak bertanya lebih jauh, membiarkan ketenangan itu tetap bersama Bima.

Hari menjelang senja saat Bima pulang, berjalan perlahan menuju rumahnya yang telah menemaninya sepanjang hidup. Ketika memasuki halaman rumah, ia berhenti sejenak, memandangi pintu yang telah menjadi saksi dari segala perasaan, segala luka, dan segala kenangan yang pernah ia alami. Ia merasakan kedamaian yang membanjiri hatinya, sebuah perasaan yang lembut, seakan-akan semuanya sudah selesai, dan ia tak lagi memiliki penyesalan.

Di dalam kamar, ia duduk di tepi ranjang, memandangi kamar yang kini tampak begitu asing, namun sekaligus akrab. Perlahan-lahan, ia menutup matanya, membiarkan keheningan memenuhi ruangan, dan dalam hati ia berbisik pelan, "Selamat tinggal." Kata-kata itu bukan sekadar ucapan, melainkan sebuah janji yang ia berikan pada dirinya sendiri, sebuah kepastian bahwa ia telah menyelesaikan perjalanannya di dunia ini.

Dan dalam keheningan malam itu, Bima melangkah menuju ketenangan yang selama ini ia cari, menuju akhir yang telah lama ia nantikan.

Abandon.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang