Malam demi malam, Bima terseret dalam lautan pikirannya sendiri. Meski tubuhnya sering berada di tengah keramaian, jiwanya tetap terkungkung di dalam penjara yang ia buat sendiri. Rasa sakit itu mulai mengakar, mencengkram setiap sudut hatinya dan mengunci mulutnya dalam kebisuan yang menyakitkan. Meski ia tahu ada sahabat-sahabat yang selalu siap mendengarkan, ada bagian dari dirinya yang menolak untuk berbagi.
“Lelaki kuat tak boleh terlihat lemah,” pikirnya berulang kali, mantra yang perlahan menjadi belenggu di setiap langkahnya. Rasa gengsi yang begitu dalam, harga diri yang terlampau tinggi, dan ego yang seolah tak tertembus. Semua itu seakan menjerat Bima dalam topeng yang semakin lama semakin sesak.
Bayu, Arif, dan Dedi sering kali mencoba membuka percakapan, memberi Bima kesempatan untuk mengeluarkan semua yang ia rasakan. Namun Bima hanya tersenyum kecil, mengalihkan topik, atau tertawa seakan-akan hidupnya baik-baik saja. Ia tahu mereka bisa melihat kerapuhan yang coba ia sembunyikan, namun ia terus menyangkal. Ia takut, sangat takut terlihat lemah. Ia tak ingin orang lain mengetahui betapa terlukanya ia, seolah-olah luka itu adalah aib yang harus ia sembunyikan rapat-rapat.
Pada malam yang lain, saat ia kembali berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, Arif menatapnya dalam-dalam, mencoba menembus dinding yang Bima bangun dalam dirinya. “Bi, lo yakin gak mau cerita? Kami ada di sini, lo tau itu, kan?”
Bima hanya mengangguk, memaksakan senyum samar yang ia tahu tak akan meyakinkan siapa pun, bahkan dirinya sendiri. “Iya, gue tahu. Gue cuma... mungkin butuh waktu aja buat menyesuaikan diri,” jawabnya, datar dan dingin. Kata-katanya terhenti di bibir, sementara ada jeritan di dalam hatinya yang tak kunjung terucap.
Di dalam diamnya, ia terus bertarung dengan dirinya sendiri. Ada suara dalam kepalanya yang berteriak, memohon agar ia berhenti berpura-pura, agar ia melepas gengsi yang selama ini membuatnya semakin tenggelam. Namun, ada suara lain yang lebih keras, yang berbisik bahwa ia harus kuat, harus menutupi kelemahannya, harus tetap menjadi lelaki yang “tegar” di hadapan dunia.
Kedua suara itu berperang di dalam benaknya, seperti badai yang terus mengoyak setiap ketenangan yang tersisa. Setiap kali ia ingin membuka diri, setiap kali ia ingin mengakui kelemahannya, ada suara yang menahannya, menghukumnya dengan ketakutan akan pandangan orang lain, dengan bayangan diri yang lemah, yang rapuh, yang tak lagi memiliki harga diri.
Malam-malamnya diisi dengan kecemasan dan kegelisahan yang tak terucapkan. Ia mulai mendengar suara-suara dalam kepalanya yang tak pernah ada sebelumnya—suara yang menyindir dirinya, mengejek kelemahan yang ia coba sembunyikan. Suara itu semakin jelas setiap malam, mengoyak ketenangan dan menghantui pikirannya, membuatnya merasa bahwa mungkin, dirinya memang tak lagi utuh. Di dalam kegelapan kamarnya, suara-suara itu bergema, menuduhnya, menyalahkannya, membawanya pada perasaan bersalah yang tak bisa ia enyahkan.
Ia menatap bayangannya sendiri di cermin, wajah yang dulu penuh percaya diri kini berubah menjadi cerminan dari kerapuhan yang tak bisa ia sembunyikan dari dirinya sendiri. Senyum yang dulu mudah ia buat kini hanya menjadi bayangan samar dari dirinya yang sudah mulai rapuh. Pandangannya kosong, matanya redup, dan di balik senyum yang ia pasang setiap hari, ada rasa sakit yang semakin menumpuk.
“Kenapa gue begini?” tanyanya pada bayangan di cermin, tapi cermin itu hanya memantulkan luka dan kegelapan yang ia coba sembunyikan dari dunia.
Bima mulai menyadari bahwa egonya telah menjadi beban yang menjeratnya, membuatnya terperangkap dalam rasa sakit yang semakin lama semakin dalam. Ia merasa dirinya terpecah antara keinginan untuk tetap kuat dan kebutuhan untuk merasakan kelembutan, untuk merasakan empati dari orang-orang yang mencintainya. Namun, ia tak bisa melawan egonya sendiri. Bagi Bima, membuka diri sama saja dengan menyerah pada kelemahan, dan ia tak siap untuk terlihat lemah di hadapan siapa pun.
Hari-hari berlalu, dan Bima semakin merasa terisolasi dalam dunianya sendiri. Teman-temannya mulai mengkhawatirkan dirinya, namun mereka tahu, pintu yang telah Bima tutup tak bisa dibuka dengan mudah. Bima berusaha keras menutupi segala hal dengan senyuman, dengan sikap yang seolah-olah tak ada yang terjadi. Namun setiap kali ia sendiri, kegelapan itu kembali menghampiri, dan suara-suara dalam kepalanya semakin menguat.
Setiap malam ia terjaga dalam diam, hanya ditemani bayangan yang terasa semakin asing, suara-suara yang memanggilnya, mengingatkan akan semua kekalahan yang tak pernah ia akui. Ia tahu, ia tak bisa terus begini, tapi ia juga tak tahu bagaimana untuk berhenti.
Keheningan mulai menjadi ketakutan terbesar Bima. Saat ia berada di tengah keramaian, ia merasa terasing. Namun ketika ia sendiri, keheningan itu mengungkapkan luka yang ia tak sanggup hadapi. Keegoisannya kini menjadi penjara yang mengunci setiap jeritan minta tolong, setiap keinginan untuk bebas dari bayang-bayang yang terus mengejarnya.
Dan di malam yang semakin gelap, ia akhirnya menyadari bahwa mungkin, ia tidak sedang melawan dunia di luar dirinya. Musuh terbesarnya adalah dirinya sendiri, adalah harga diri yang menolak untuk terluka, yang menolak untuk terlihat lemah. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa ia tak akan bisa bertahan jika terus memendam semua ini sendirian.
Malam itu, di kamar yang gelap dan sunyi, Bima mulai memahami bahwa pertempuran ini adalah pertempuran yang hanya bisa ia menangkan jika ia mampu menghadapi dirinya sendiri, jika ia mampu melepaskan keangkuhan yang selama ini menjadi topengnya. Tapi, apakah ia siap untuk itu? Apakah ia siap untuk mengakui bahwa dirinya tak lagi sempurna?
Begitu banyak pertanyaan yang berputar di dalam benaknya, pertanyaan yang tak pernah ia tahu jawabannya. Dan dalam kegelapan malam, dengan suara-suara dalam kepalanya yang semakin menguat, Bima tahu bahwa ini bukan hanya tentang kesepian… ini tentang menerima diri yang mungkin tak lagi sama. Namun, untuk pertama kalinya, ia mulai merasakan ketakutan yang sesungguhnya—ketakutan bahwa dirinya yang sebenarnya mungkin tak sekuat yang ia kira.
Di malam yang semakin larut, Bima hanya bisa termenung, terjebak dalam keheningan dan ketakutan yang perlahan-lahan menggerogoti dirinya. Ia tahu, pertempuran ini baru saja dimulai, dan ia tak tahu apakah ia memiliki kekuatan untuk bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abandon.
RomansaAbandon adalah kisah tentang kehilangan, pengkhianatan terhadap diri sendiri, dan pencarian akan cahaya di tengah kegelapan yang tak terlihat ujungnya.