02. Relief and Solitude.

1 1 0
                                    

Pagi menjelang dengan lamban, seakan enggan menyambut hari baru. Sinar matahari mengintip dari sela-sela tirai, tapi bagi Bima, cahaya pagi itu tak lebih dari sekadar luka yang mengingatkan bahwa hidup masih terus berjalan—meski hatinya telah berhenti di malam yang lalu.

Ia terduduk di tepi ranjang, merasakan kekosongan yang bergema dalam tiap sudut kamarnya. Sisa-sisa kehadirannya masih tertinggal di sini, di ruangan yang pernah penuh dengan tawa dan percakapan hangat. Seprai yang kusut, cangkir kopi yang tak tersentuh, dan bantal yang masih menyimpan aroma samar dari dirinya. Setiap detil adalah pengingat yang mengoyak dadanya, mengirisnya perlahan tanpa belas kasihan.

Namun, di tengah lautan luka yang mengendap di dalam dirinya, ada perasaan lain yang samar, nyaris tak ia sadari—seberkas lega yang aneh, tak diundang, namun nyata. Rasanya seperti beban berat yang selama ini menekan dadanya mulai terangkat, meski rasa sesak masih mengikat tenggorokannya. Lega itu datang sebagai kesadaran bahwa kini, ia terbebas dari kecemasan, dari ketakutan akan perselisihan yang tak kunjung selesai. Semua sudah berakhir.

Namun, saat ketenangan sesaat itu perlahan menjelma, rasa kosong yang dalam segera menyergap. Ia tersadar bahwa kini, tak ada lagi yang akan mengganggu malam-malamnya dengan pesan singkat yang tiba-tiba. Tak ada lagi tangan yang akan ia genggam di tengah keramaian kota. Ia bisa saja merasa bebas, tapi ia tak bisa lari dari fakta bahwa di sisi lain, ia terpenjara dalam kesendirian yang tak pernah ia bayangkan.

Setiap detik dalam keheningan itu terasa seperti penjara sunyi yang menenggelamkan. Rindu yang mengental di dadanya berubah menjadi racun, mengalir dalam setiap denyut nadinya, menguasai pikirannya dengan ingatan-ingatan yang tak pernah ia undang. Ia melihat bayangannya di cermin—wajah yang tampak tenang, namun sorot matanya hampa, kosong, penuh luka yang tak bisa ia sembunyikan.

Bima mencoba meyakinkan dirinya bahwa hidup akan terus berlanjut, bahwa luka ini hanyalah bagian dari perjalanan. Tapi semakin ia mencoba, semakin ia tenggelam dalam perasaan yang sulit ia uraikan. Kehilangan itu, kekosongan itu, terus menghisapnya, merenggut semangat yang pernah ia miliki. Ia merasakan seolah ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, sesuatu yang tak bisa ia temukan lagi.

Hari-hari berlalu dengan perlahan, menyeretnya dalam rutinitas yang monoton dan hampa. Langkahnya kini terasa berat, seolah setiap tapak kaki adalah usaha untuk melarikan diri dari kenangan, tapi sekaligus usaha untuk mengingat apa yang pernah ia miliki. Keheningan di sekitarnya seolah menggema, mengingatkan bahwa tak ada lagi suara tawa, tak ada lagi kehadiran yang melengkapi. Hanya ada dirinya dan bayangan kosong yang terus menghantuinya.

Kehidupan tanpa dirinya kini adalah ketidakpastian yang menggigit dalam sepi. Setiap detik terasa lebih panjang dari sebelumnya, seakan-akan waktu bersekongkol untuk mempermainkannya, menuntunnya dalam siklus rasa kehilangan yang tak berujung. Ia merasa seperti perahu kecil yang terombang-ambing di tengah samudera yang luas, tanpa arah, tanpa tujuan.

Namun meskipun segala sesuatu di sekitarnya tampak hancur, ada sisi dalam dirinya yang masih tak mau mengakui luka itu sepenuhnya. Ada perasaan yang terus menahannya untuk benar-benar larut dalam kesedihan. Bagian dari dirinya ingin bangkit, ingin menemukan sesuatu yang baru, ingin mencoba hidup yang berbeda. Tapi ada bagian lain yang masih menahan, yang tak ingin menyerah pada kenyataan bahwa semua telah berakhir.

Begitulah, Bima menjalani hari-hari yang membingungkan ini dalam dua perasaan yang bertolak belakang—antara rasa lega yang aneh namun nyata, dan kesepian yang kian mencekik setiap helaan napasnya. Ia berjalan di antara bayang-bayang masa lalu dan rasa kosong yang perlahan menggerogoti setiap bagian dirinya, menggantung dalam pertanyaan yang semakin ia hindari: “Bagaimana jika… ini benar-benar akhirnya?”

Bima tahu, meskipun ia tak ingin mengakuinya, bahwa dirinya sedang berubah. Namun perubahan itu bukanlah yang ia inginkan. Perlahan, ia mulai kehilangan bagian-bagian kecil dari dirinya sendiri. Senyumnya mulai pudar, sorot matanya mulai mati, dan apa yang dulu tampak sederhana kini terasa tak lagi penting.

Di dalam kesendirian yang menjerat itu, Bima mulai bertanya-tanya, apakah rasa ini akan terus bertahan selamanya? Apakah ia akan selalu merasa hampa dan terjebak dalam kenangan yang tak mau pergi? Hari-hari berlalu, dan setiap malam, ia terbaring di ranjang yang dingin, hanya ditemani oleh bayangan dirinya yang telah rusak. Bayangan yang menatap balik padanya dengan pandangan penuh kesedihan dan putus asa.

Lalu, malam demi malam berlalu dengan hampa, dengan waktu yang terus bergerak meski dirinya seolah tak beranjak dari rasa perih yang sama. Dan dalam tiap detik kesendirian itu, ia hanya bisa menatap kosong pada langit-langit kamarnya, bertanya dalam hati yang sunyi—apakah ini hidup yang akan ia jalani mulai sekarang? Hanya bersama sepi, kenangan, dan penyesalan yang enggan hilang?

Begitulah malam-malam kesendiriannya, di mana ia terjaga, merasakan dingin yang meresap dalam tulang, dan mengulang-ulang kenangan yang tak lagi memiliki tempat. Dalam setiap detik yang berlalu, ia menyadari bahwa hidupnya telah berubah… dan mungkin, ia sendiri tak lagi mengenali siapa dirinya yang kini tersisa.

Abandon.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang