03. New habits, Same taste.

2 0 0
                                        

Bima merasa dirinya terseret dalam arus kesunyian yang lambat namun pasti menghanyutkan. Hari-hari berjalan seperti bayangan kelabu yang berulang, tanpa warna, tanpa makna. Setiap sudut kota yang ia lalui seakan menjadi monumen tak kasatmata dari kenangan yang tak ingin ia sentuh namun tak bisa ia hindari. Tempat-tempat itu terus memanggilnya, mengingatkannya pada tawa yang pernah ia miliki, pada momen-momen sederhana yang kini menjelma luka yang tajam.

Dan di tengah kehampaan itu, Bima memutuskan, ia harus menemukan jalan keluar—walau sementara—dari kesedihan ini.

Suatu hari, langkahnya terhenti di depan sebuah kafe kecil, tempat ia biasa duduk bersamanya. Tapi kali ini ia duduk sendirian, di meja yang dulu mereka bagi. Bima menyesap kopinya dengan pandangan kosong, mencoba menghapus bayangannya dari kursi kosong di depannya. Tapi sepi yang ada di kursi itu justru terasa semakin nyata, seperti jejak yang tak mungkin ia hapus begitu saja.

Merasa tak sanggup lagi, ia memutuskan untuk mencoba cara lain. Suatu malam, dengan hati yang berat, ia membiarkan Arif, Bayu, dan Dedi—sahabat-sahabat yang selalu ada di sisinya—menariknya keluar dari kamar yang dingin itu, keluar dari jeratan kesepian yang merongrong tiap hari. Ia tak tahu apakah ini akan berhasil. Namun, malam itu, dengan langkah berat, ia menyeret dirinya keluar, berusaha melupakan kehangatan yang hilang.

“Sudah berapa lama lo mendekam di rumah, Bi? Lo kayak mayat hidup, sumpah.” Arif berkomentar, menghidupkan suasana yang penuh canda tanpa sadar bahwa senyum Bima hanya pantulan dari rasa kosong yang tak mampu ia sembunyikan.

Bima tertawa kecil, senyum yang dipaksakan, berusaha meyakinkan mereka—dan mungkin dirinya sendiri—bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa ia akan mampu melanjutkan hidupnya seperti biasa. Namun jauh di dalam, ia tahu ada bagian dari dirinya yang tak lagi utuh, yang mulai kehilangan bentuk, seperti sebuah cermin retak yang memantulkan gambaran dirinya yang samar, yang penuh dengan retakan-retakan kecil.

Malam-malam berikutnya, ia semakin sering keluar, berusaha mengisi waktu dengan tawa yang sebenarnya tidak ia rasakan. Mereka pergi ke bar, tertawa dengan lantang, mencoba bersenang-senang di tengah gemerlap lampu yang menghiasi malam kota. Namun, semakin keras ia tertawa, semakin dalam rasa kosong itu mencengkeram dirinya. Seolah setiap denting gelas yang bersulang hanyalah gema dari kesunyian yang berusaha ia lupakan.

Di tengah malam yang semakin larut, ketika semua orang telah mulai mabuk oleh alkohol dan melupakan segala beban hidupnya, Bima tetap tersadar dalam kesadaran yang terasa lebih menyiksa dari apapun. Ia hanya memandangi keramaian itu dengan tatapan kosong, merasakan jarak yang terbentang antara dirinya dan dunia di sekitarnya. Di tengah kebisingan, ia menemukan dirinya lebih kesepian dari sebelumnya.

Ia mencoba meneguk alkohol, berharap rasa pahit itu bisa menghapus segala yang membebaninya, namun alih-alih mengalihkan pikirannya, minuman itu justru membuatnya semakin tenggelam dalam lautan kenangan. Setiap tegukan seolah membuka kembali luka-luka yang berusaha ia kubur dalam, memanggil kembali bayangan wajahnya, tawa yang sudah hilang, pelukan yang tak lagi ada.

“Lo baik-baik aja, Bi?” Bayu menepuk pundaknya, mencoba menembus dinding yang Bima bangun di sekeliling dirinya.

Bima hanya mengangguk, meyakinkan sahabatnya bahwa semua baik-baik saja, meski di dalam dirinya, badai sedang menggulung tanpa arah. “Gue baik, Yu. Gue cuma... butuh waktu aja.”

Namun kata-kata itu terasa kosong, tak memiliki jiwa. Bima tahu, waktu mungkin bisa menyembuhkan luka, tapi ia mulai meragukan apakah waktu akan cukup untuk membangun kembali bagian-bagian dirinya yang kini hancur. Setiap hari adalah pertarungan baru, dan dalam setiap malam yang ia habiskan di tengah tawa dan obrolan kosong, ia semakin sadar bahwa ia hanya berlari dalam lingkaran tanpa ujung.

Di malam-malam selanjutnya, meski ia terus keluar rumah, menjauh dari kesunyian kamarnya, kesepian itu justru semakin menghantamnya dengan cara yang berbeda. Setiap tempat yang ia kunjungi, setiap langkah yang ia ambil, seolah menyimpan bayang-bayang yang tak ingin ia temui namun terus mengikutinya. Semua hal yang ia lakukan seakan memutar kembali kenangan yang ia ingin lupakan, menelanjangi setiap luka yang tak ingin ia lihat.

Sampai akhirnya, ia mulai merasa lelah, lelah dengan segala upaya yang tampak sia-sia. Kebiasaan baru yang ia coba jalani tak pernah benar-benar mengisi kehampaan itu. Ia mencoba untuk membuka diri, namun justru yang ia temukan adalah kenyataan pahit: kehangatan yang pernah ia rasakan tak bisa ia gantikan dengan apapun. Rasa kosong itu tetap ada, setia menghantuinya, meski ia mencoba menutupinya dengan keramaian, dengan tawa, dengan alkohol, dengan teman-teman yang tulus berusaha menemaninya.

Bima mulai bertanya dalam hati, mungkinkah kesepian ini adalah bayaran dari cinta yang pernah ia miliki? Cinta yang begitu dalam, namun kini meninggalkan luka yang tak mudah hilang. Ia tahu, di dalam dirinya ada keinginan untuk melupakan, untuk melangkah ke depan. Tapi hatinya masih tertinggal di masa lalu, terjerat dalam rasa rindu yang tak bisa ia enyahkan.

Di ujung malam yang penuh dengan tawa palsu dan keramaian yang hanya memberi ilusi, Bima menemukan dirinya kembali dalam sepi. Seperti kapal yang tak pernah bisa benar-benar berlabuh, ia terus terapung di antara kenyataan yang menyesakkan dan bayang-bayang yang tak bisa ia lupakan.

Dan di titik itu, ia sadar, bahwa meskipun ia mencoba segala cara, meskipun ia melangkah keluar dari kamar yang gelap itu, ia tetap terjebak dalam kesepian yang sama. Tawa, alkohol, dan sahabat-sahabatnya yang tulus tidak cukup untuk meredam rasa sakit yang menggerogoti dirinya perlahan. Mereka hanya menutupi luka itu sejenak, membiarkan ia melarikan diri sementara… namun luka itu tetap ada, berdenyut di dalam, semakin dalam.

Malam itu, ketika ia berjalan pulang dengan langkah tertatih di bawah cahaya rembulan yang dingin, Bima merasa semua yang ia coba lakukan hanyalah sia-sia. Segala kebiasaan baru yang ia coba jalani tak lebih dari topeng, tak mampu menyembuhkan apa yang terluka, tak mampu menggantikan apa yang hilang.

Dalam langkahnya yang berat menuju rumah, ia mulai menerima kenyataan pahit bahwa rasa sakit ini mungkin akan menjadi bagian dari dirinya, bagian dari hidupnya yang baru, hidup yang tak lagi sama. Dan di tengah dinginnya angin malam yang menusuk, Bima akhirnya memahami—kesepian ini, rindu yang tak terucap, mungkin akan menjadi satu-satunya teman yang menemaninya dalam kesendirian yang panjang ini.

Abandon.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang