Satria menyetir kendaraannya dengan kecepatan penuh. Entah mengapa suasana hatinya berubah buruk setelah mendengar perbincangan singkat Sebastian dan Yugo. Padahal tidak sampai selesai, tetapi berhasil membuatnya sejengkel ini. Untuk apa mereka menyerahkan Yugo padanya, jika pada akhirnya Yugo diminta kembali? Satria sudah sangat menyayangi Yugo. Tidak bisa dibayangkan jika nantinya mereka kembali berpisah. Sebastian benar-benar serakah. Tidakkah cukup dengan merebut Arini sekarang dia ingin turut membawa Yugo juga?
Sadar ada yang tidak beres dengan papanya. Yugo bertanya, "Papa kenapa?"
"Enggak." Singkat, padat, jutek.
Yugo jadi ikut kesal. Sedari tadi dia sabar papanya berkendara dengan menyebalkan, padahal dia masih pusing dan mual. "Berhenti, Pa," katanya dingin.
"Kenapa, sih? Papa nggak apa-apa."
"Berhenti atau aku loncat?"
Lelaki itu menyerah. Yugo tidak pernah main-main dengan ucapannya. Dengan terpaksa Satria langsung menepikan mobilnya di bahu jalan. Melihat putranya turun, kemudian berjalan cepat meninggalkannya, Satria tak tinggal diam. Lelaki itu mengejar dengan tergesa.
"Yugo, kamu mau ke mana?"
"Ke mana aja yang penting nggak mati sama Papa!"
"Ck, yang mau mati siapa?"
"Papa pikir bawa mobil ngebut-ngebut gitu nggak bahaya? Bukan cuma membahayakan diri kita sendiri, tapi juga orang lain. Kalau Pap ada masalah, selesaikan. Jangan bikin aku tambah stres dengan kebut-kebutan."
"Kamu nggak tau apa-apa."
Yugo berhenti, kemudian menatap papanya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Justru itu, kasih tau aku kalau emang aku nggak tau. Jangan bikin bingung, Pa."
"Enggak. Udahlah ayo pulang. Papa capek!"
Anak itu geleng-geleng melihat kelakukan papanya yang seperti anak kecil. "Kalau gitu kita pulang masing-masing. Sopir taksi masih lebih tau aturan dibanding papa."
Yugo menghentikan laju sebuah taksi kemudian meninggalkan papanya sendiri. Tidak peduli di rumah nanti keadaannya seperti apa. Yugo lelah. Tidak bisakah semua orang bersikap normal? Sang ayah yang memintanya kembali saja sudah membuat sakit kepala, papanya sendiri tiba-tiba marah tidak jelas. Menyebalkan.
Satria semakin kesal karena ditinggal. Ia juga tidak mungkin pulang dalam keadaan seperti ini karena bisa jadi di rumah pun mereka kembali berdebat. Lebih baik dia mendinginkan otak. Minum satu gelas atau dua gelas sepertinya tidak masalah.
***
"Lo kenapa lagi, sih, Sat? Udah dibilangin jangan lari ke sini lagi. Lo punya anak udah gede. Diikutin aja lo nangis."
"Gue tuh pusing. Kenapa Yugo disuruh ke sini kalau akhirnya dibawa pulang lagi. Kan anjing, ya, si Sebastian itu. Udah ngrebut Arini sekarang Yugo juga mau dibawa. Dia pengin banget apa gue menderita?" racau Satria sembari kembali menumpukan kepalanya di atas meja. Niatnya hanya minum satu atau dua gelas nyatanya sampai bergelas-gelas.
Akmal seketika diam. Rupanya yang membawa Satria ke sini lagi-lagi persoalan keluarga. "Nggak gini anjir. Lo omonginlah baik-baik sama anaknya. Malah gini, yang ada dia ngamuk."
"Ngamuk? Ah, iya. Yugo lagi ngamuk. Dia mirip banget Arini masa. Turun dari mobil terus kabur duluan ninggalin gue. Malang banget, kan, nasib gue."
Satria tiba-tiba bangkit dari posisinya, kemudian mencengkeram bahu Akmal. "Gue harus balik. Iya balik. Nanti anak gue dibawa kabur terus gue sendirian lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satria Dan Paus Kecil
General FictionDulu, menikah adalah sesuatu yang menakutkan bagi seorang Satria Evano Antasena yang berjiwa bebas. Namun, sang ayah tetap memaksanya menikah di usia muda. Meski tanpa cinta, pernikahan Satria dan Arini kala itu berhasil membawa seorang bayi mungil...